Sebagai makhluk sosial, tentu aku senang saat melihat anakku, Musa (selanjutnya kita sebut dengan “M”), mudah melebur di tengah keramaian massa. Ia tak pernah punya masalah dalam memulai pertemanan atau berinisiatif mengajak bermain anak-anak lain.
Ironisnya, sejak ia kecil, aku menyadari bahwa tugasku menjaga M berat karena ia merupakan tipe anak yang banyak bicara sekaligus bergerak. Kerap kali aku mendapat belas kasihan orang ketika mereka melihatku kerepotan meng-handle M. Tentu saja, mereka mengasihaniku dalam konteks yang baik, misalnya memberiku apresiasi sebagai ibu yang kuat dan tangguh atau mendoakan anakku jenius. Konon, anak jenius yang maju bukan hanya otak, melainkan juga tangan dan kakinya. Huh, percaya tak percaya …
Sedikit cerita tentang hal ini pernah aku sampaikan dalam sebuah tulisan di Instagram.
Waktu pun berlalu. Tingkat keaktifan M, sulungku, bukannya semakin berkurang karena usia. Setelah punya adik, ia seperti punya sekutu yang bisa diperintah untuk melakukan kemauannya. Aku perhatikan, adik N yang aslinya jauh lebih pendiam dan tidak neko-neko, kadang jadi ikut berlarian, berlompatan, dan berteriak heboh mengikuti kakaknya. Hal itu membuatku sering pusing dan cepat naik emosinya.
Untungnya, selama empat tahun mengikuti pendidikan di TK umum Jepang (youchien), M dinilai baik oleh guru dan pihak sekolah. Artinya, ia sama sekali tidak dicap trouble maker atau penderita kelainan tertentu dengan tingkahnya yang berlebih. Konfirmasi itu selalu aku dapatkan saat sesi wawancara orang tua dan guru yang dilaksanakan setiap semester. Selain itu, ada pemeriksaan perkembangan fisik dan mental yang kami dapat dari pemerintah dan sekolah hingga usia enam tahun.
Di tahun terakhir TK-nya, M mengikuti program belajar jarak jauh secara daring dengan sebuah sekolah Al-Qur’an di Indonesia. Awalnya semua baik-baik saja, tetapi ternyata setelah ia terbiasa dengan fitur Zoom dan teman serta gurunya, M mulai ‘bereksperimen’. Ketika guru sedang menerangkan materi pelajaran melalui screen sharing, dia memberikan annotations pada modul yang sedang ditampilkan. Ketika temannya sedang mengulang bacaan surah pendek, dia tiba-tiba menyahut dan melanjutkan ayat yang seharusnya dibaca oleh si teman. Ketika guru sedang mengajar, tak jarang juga dia ikut bicara.
Heu … kembali terjadilah ketegangan antara aku dan M setelah rentetan kejadian itu hingga berujung aku atau suami menemaninya sekolah daring. Jadi ‘satpam’ atau ‘pawang’ lah ibaratnya.
Sebaik-baiknya anak adalah yang bisa duduk manis, anteng, dan menurut apa kata orang tua.
Begitulah sugesti yang selalu bercokol di otakku. Aku, yang tidak begitu menggemari anak-anak, sulit menerima jika anak-anak bergerak semaunya dan sulit diatur. Ternyata, siapa sangka anakku sendiri kini yang harus diatasi.
Beberapa minggu belakangan ini, pikiranku sedang galau karena ulah M yang mulai menabrak batasan dengan orang lain. Kalau dulu dia terlihat ‘liar’ hanya ketika berada di lingkungan orang Indonesia, nyatanya kini setelah masuk SD, yang baru beberapa bulan, aku sudah dua kali mendapat laporan dari wali kelasnya tentang keusilannya kepada teman. Teman-teman di sekitar bangkunya sudah jadi korban keisengannya semua, contoh: dicolek-colek diajak bermain saat guru sedang menerangkan, dicoret bukunya, dan disembunyikan barangnya. Ganti posisi duduk, ganti pula yang jadi sasaran keisengannya.
Apa tidak diingatkan? Tentu saja sudah. Namun, menurut gurunya, ada banyak momen ketika beliau sedang tidak sanggup mengawasi alias si anak luput dicegah dari becanda yang berkelanjutan. Aku paham. Tugas wali murid sudah berat sekali. Tunggu … becanda? Maksudnya bukan nakal? Entahlah, aku pun bingung. Setiap kali ditanya, M selalu mengaku tidak ada keinginan untuk membenci, menyakiti, atau mengganggu temannya. Ia meminta maaf ketika diingatkan dan selalu menjawab “Sudah tahu” kalau dinasehati. Pusing, kan?
Saat ini, aku telah sampai di tahap ingin berkonsultasi dengan konsular sekolah dan menggunakan jasa psikolog dari kantor suami demi mendapatkan solusi yang tepat untuk berkomunikasi. Aku takut sekali jika ‘kenakalan’ anakku berlanjut menjadi bully atau merugikan dirinya sendiri, misalnya membuatnya dijauhi teman. Dibawa ke tempat umum pun kerap membuatku trauma. Enggak mungkin kan terus-menerus jadi penjinaknya?
Jika ada saran yang berharga, mohon dibantu ya, pembaca sekalian … terima kasih.