Getting Back My Lost Bag in Germany


Story on Mar 8 – 9th 2018

The moment when I lost my whole bag in Stuttgart with two cellphones, one camera, wallet, and.. residence card + passports inside was really draining me. Many parties were involved in this case, from hotel receptionist to information-desk staff in the train service office. I got ambiguous information from one party and another which made picking my bag is longer than finding bag itself. Yes, even though I disappointed with the security of the city after I found nothing when I came back to suspected location soon after happening, my doubt was also quickly gone within one hour later when I got news via phone that my bag had been saved by the authorities. WOW!

LOST AT MIDNIGHT

That day, I was super tired after duet Swiss trip with my son. Our bus arrived at Kornwestheim station nearly midnight. My husband picked us and helped me to handle Musa. While waiting for the train to go back to our hotel, we took a rest by sitting next each other in the platform. I didn’t remember how I put my bag in the bench, but I can recall that I strolled around to kill the time and made my body warmer. It was very cold at that time and because midnight, only a few trains coming in an hour. When I was still walking sleepily here and there, my hubby suddenly headed me while pushing Musa’s stroller, leaving his sit too. Soon afterwards, the train was coming and we rode it. Inside the train we chatted each other like nothing wrong happened. We arrived at the hotel, came in to the room, and…… I knew my bag was not with us. Nobody remembered with the bag during the moment!!!

I got panic.

My short thought wanted me to go back to the station right now, but Aisar reminded me that the train had finished so although I could go to Kornwestheim, I wouldn’t get train back to Nordbahnhof, the closest station to our hotel. Taxi! Why not? Aisar didn’t agree because as his experience it couldn’t take credit card, whereas we ran out of euro cash. He suggested me to wait until the morning came.

However, how could I wait? Continue reading

Swiss for Real (Part 1)


Despite numerous travel experience with Musa (now 2y10m) only, I never made plan as detail as our journey to Swiss Alps two weeks ago (3/7-8). Still, I’m not confident to consider it as itinerary because I only wrote down the timing of transportation (travel duration and availability) and rough to-do-list description. Our trips often went impulsively, unplanned, and yielded unpredictable results 😀 At least, starring places in the G Maps application on phone prior to trip is really life safer. We can find alternatives quickly when shit happened at the spot without spending much time to googling. It’s been a habit for Aisar too. Even when three of us are going together, it doesn’t mean the trip will run more organized. No itinerary has been our trip behavior since having kid. LOL.

Okay, let’s go back to my Suisse trip.. don’t let my confession deter your spirit to fly high, especially if you’re a mom like me who has no choice but carrying your kid(s) everywhere 😛

Bulan Oktober lalu, saya terlibat obrolan dengan seorang teman yang anaknya beda sebulan dengan Musa. Kami sama-sama suka kabur dari rumah kalo pas suami dinas ke luar negeri demi mengusir rasa bosan dan kehilangan. Pada saat itu saya memuji dia yang berani main jauh sama anaknya ke Kyoto pakai nginap segala karena saya levelnya cuma menjelajah Tokyo dan sekitarnya aja yang pergi pagi dan pulang malam. Belum pernah kepikiran ajak Musa nginap tanpa suami di usianya yang udah susah dikendaliin ini, padahal kalo diingat, saya pernah bermalam sama bocah aja di Dallas, Texas, selama 2 hari 2 malam karena saya nggak bawa paspor dan nggak bisa balik ke Michigan sehingga kepulangan harus diundur, tapi emang Musa masih setahunan, lebih nurut. Wakakak. Yang kedua, ternyata saat mudik kemarin kejadian lagi menginap dadakan kaya gitu, cuma kali itu di Cirebon dan nggak ke luar hotel sampai dijemput (baca di sini).

Di Swiss ini, barulah bisa dihitung sebagai perjalanan berdua emak dan bocah yang diniatin. Meskipun hanya 2 hari 1 malam penuh, pengalaman ini cukup membuat saya ketagihan. Bedanya dengan pergi sendiri di Indonesia tentu karena nggak bisa dikit-dikit manggil ojek atau taxi, yang mana bikin saya kerepotan kalo anak udah rewel, baterai hape mau habis, dan tempatnya antah berantah. Oleh karena itu, seperti diceritakan di atas, demi mulusnya perjalanan impian ke pegunungan Alpen Swiss, saya benar-benar pelajari medan sebelum pergi. Walaupun masih jetlag karena baru tiba di bumi Eropa kurang dari 48 jam, we did it!

Continue reading

Paris at Glance


Posted from egadioniputri’s Instagram Besides #Eiffel and other incredibly marvelous old buildings, the way words pronounced in French language, perfection of taste in their “boulanger-patissier” products ARE two things we can’t forget from #Paris visit. See you maybe! #ea5512 . . Hawa Paris emang romantis-romantis gimanaa gitu walaupun pemandangan di kota normal aja, sama sekali jauh dari bayangan “tabu” yang ada di kepala saya. Atmosfer itu bikin saya kebawa juga pose rada mesra dikit cuma nggak tega lah upload foto love-love di mari 💕 Wkwk. Sebelum kami datang malah sempet suami cerita kondisi di ibukota negara tetangga Jerman lain yang tempat pelacuran udah kaya kombini (baca: minimarket) di Jepang aja, ceweknya kelihatan dari luar kaca-kaca toko. Di Paris, paling banter saya lihat beberapa pasangan gay aja lagi jalan bareng (tetep jijay.. yaiks!). Sikap masyarakatnya terhadap saya yang hijaber juga baik-baik aja, nggak jutek, diskriminasi, atau memandang dengan curiga. Alhamdulillah banyak temen jilbaban di mana-mana juga 😂 . . Buat saya pribadi, yang paling mengherankan dari kota ini, setelah menyaksikan bukti-bukti pembangunan zaman Napoleon dkk. dulu dari teratur, megah, dan awetnya bangunan-bangunan tua, tapi kok tampaknya masyarakatnya kini kurang bergairah membangun dibandingin negara-negara Eropa lain yang udah saya kunjungin. Hampir semua stasiun nggak ada akses eskalator/lift, fasilitas di tempat-tempat publik apa adanya dan bad design dari segi fungsionalitas (nambah navigasi aja males kayanya 😝), pelayanan terhadap konsumen juga payah (harus kitanya yang proaktif minta/nanya), alam pun tak ada yang dibuat menarik. Pokoknya pas beberapa jam pertama aja kesan saya langsung “kaya Jakarta”. Kalo nggak ada bangunan-bangunan kuno keren mungkin aja beneran gitu.. Wkwk. Meski begitu, saya salut tempat sampah gampang ditemukan, industri fashion dan kuliner warbyasak. Makanan nggak ada yang nggak enak, desain baju di “atelier-atelier” pinggir jalan nggak ada yang jelek 😆. . . Mengingat suami saat ini kerjanya di perusahaan Prancis, tapi nggak pernah disuruh ke sana untuk business trip, malah ke Jerman, jadi ngeh sih kenapanya. They’re not one of those leading countries in technology 🙂

Hallo, German!


Checked in another leading country in the world, my first European experience ever, and quickly firmed up that Japan is still no. 1 we can expect for convenience.. and might be also for all perfection in life only if they’re religious and not workaholic 😄😄😄. Alhamdulillah..
#ea5512 #europetrip #whenhubbytakesyouonabusinesstrip

16426222_10155121269074668_2821928717264879594_n

Posted from Ega Dioni Putri’s Facebook