Swiss for Real (Part 1)


Despite numerous travel experience with Musa (now 2y10m) only, I never made plan as detail as our journey to Swiss Alps two weeks ago (3/7-8). Still, I’m not confident to consider it as itinerary because I only wrote down the timing of transportation (travel duration and availability) and rough to-do-list description. Our trips often went impulsively, unplanned, and yielded unpredictable results 😀 At least, starring places in the G Maps application on phone prior to trip is really life safer. We can find alternatives quickly when shit happened at the spot without spending much time to googling. It’s been a habit for Aisar too. Even when three of us are going together, it doesn’t mean the trip will run more organized. No itinerary has been our trip behavior since having kid. LOL.

Okay, let’s go back to my Suisse trip.. don’t let my confession deter your spirit to fly high, especially if you’re a mom like me who has no choice but carrying your kid(s) everywhere 😛

Bulan Oktober lalu, saya terlibat obrolan dengan seorang teman yang anaknya beda sebulan dengan Musa. Kami sama-sama suka kabur dari rumah kalo pas suami dinas ke luar negeri demi mengusir rasa bosan dan kehilangan. Pada saat itu saya memuji dia yang berani main jauh sama anaknya ke Kyoto pakai nginap segala karena saya levelnya cuma menjelajah Tokyo dan sekitarnya aja yang pergi pagi dan pulang malam. Belum pernah kepikiran ajak Musa nginap tanpa suami di usianya yang udah susah dikendaliin ini, padahal kalo diingat, saya pernah bermalam sama bocah aja di Dallas, Texas, selama 2 hari 2 malam karena saya nggak bawa paspor dan nggak bisa balik ke Michigan sehingga kepulangan harus diundur, tapi emang Musa masih setahunan, lebih nurut. Wakakak. Yang kedua, ternyata saat mudik kemarin kejadian lagi menginap dadakan kaya gitu, cuma kali itu di Cirebon dan nggak ke luar hotel sampai dijemput (baca di sini).

Di Swiss ini, barulah bisa dihitung sebagai perjalanan berdua emak dan bocah yang diniatin. Meskipun hanya 2 hari 1 malam penuh, pengalaman ini cukup membuat saya ketagihan. Bedanya dengan pergi sendiri di Indonesia tentu karena nggak bisa dikit-dikit manggil ojek atau taxi, yang mana bikin saya kerepotan kalo anak udah rewel, baterai hape mau habis, dan tempatnya antah berantah. Oleh karena itu, seperti diceritakan di atas, demi mulusnya perjalanan impian ke pegunungan Alpen Swiss, saya benar-benar pelajari medan sebelum pergi. Walaupun masih jetlag karena baru tiba di bumi Eropa kurang dari 48 jam, we did it!

RIDING Double-DECKER GREEN BUS

I came to Europe along with hubby who’s having business trip in Germany. We stayed only three days in Stuttgart, traveled to neighbor country, then went back to another German city. After reading some threads about Swiss Trip on TripAdvisor, I first told Aisar that I wanted to take train directly from Stuttgart to Luzern (or Lucerne) because I don’t need to see Zurich. Sorry, Zurichers 😀 However, he didn’t agree since he worried the weather used to affect train schedule and booked bus to Zurich without asking me (meh). Later, I was surprised to see how much we saved by taking bus rather than train with slight difference in duration of trip. The bus was comfy and nice, but your passport will be checked by polizei. Recommended!

flixbus-stuttgart to zurich-price

Invoice for our bus from Stuttgart to Zurich. From Zurich, we took SBB train an hour to Luzern for around 26 CHF.

“Double-decker green bus”, begitulah Musa mengingat ‘nama’ bus yang membawa kami menyebrangi sungai Rhine meninggalkan Jerman, menuju wilayah Swiss. Hampir semua bus yang kami naiki di Eropa, baik yang dalam kota maupun luar kota/negeri, memang merupakan double-decker bus (bus dua lantai). Daerah paling dekat dari Stuttgart (Jerman bag. selatan) kalo mau ke Swiss adalah kota Zürich (dibaca Zuerich). Harusnya cuma empat jam perjalanan, tapi karena pemeriksaan paspor di wilayah perbatasan makan waktu luaaama, kami baru turun bus pukul 12.30 (berangkat 7.30). Langit masih gelap ketika kami keluar hotel, tapi karena masih jetlag nggak ada masalah deh buat bangun pagi. Musa aja bangun jam 4.

kurbiskernbrotchen

One of our fave German breads

Selama naik bus, Musa cukup anteng dengan makanannya dan atraksi di jalan. Kami duduk di lantai 2 (upstairs) jadi doi bisa lihat lebih banyak hal. Yang syedih, bekal kami ketinggalan padahal sudah dibeli malamnya dan isinya beragam rupa dipisah di kantong plastik sendiri. Karena dipisah itulah makanya ketinggalan . Saya cuma bawa satu tas ransel standar. Untung tiba di halte bus cepet. Jadi masih ada waktu untuk lari ke pintu seberang stasiun demi mencari toko makanan yang buka. Alhamdulillah ada bakery yang jual roti standar (baca: roti-roti yang saya ketahui jenisnya dan apa bahan yang mungkin terkandung didalamnya.. cailah). Karena sama sekali nggak bawa makanan, dan di deket halte sama sekali nggak ada kehidupan.. saya beli tiga roti ukuran gede: berliner (jam doughnut), croissant, dan kürbiskern brötchen (pumpkin seeds bun)Favorit dia yang terakhir itu meskipun rasanya hampir plain, tapi teksturnya memang renyah dan gurih karena seeds-nya.

Bus sempat berhenti sebentar di pom bensin buat ngasih waktu orang-orang untuk pipis.. wkwk sama kek di Indo. Di Jepang bus-bus gitu ya di rest area kece berhentinya 😛 Di situlah saya juga pipis dan beli tambahan air minum yang ternyata soda (plak!!). Perhatian sodara-sodara, di Jerman minum soda udah kaya minum air emang. Bukan soda yang manis tapi, yak!

flixbus-stuttgart-to-zurich

First experience Flix Bus: (left top) bus stop, (left bottom) inside the bus (right) bus look from the front

Pemberhentian kedua adalah di Dobeleplatz yang sudah tertulis di tiket. Ini cuma semacam parkiran bus di mana beberapa polisi stand by di situ untuk mengecek paspor para penumpang bus. Mereka masuk ke dalam bus kaya kondektur ngecekin tiket gitu, terus kalo ada yang mencurigakan pengen dicek lebih lanjut, barulah mereka bawa keluar. Orangnya sih ada yang harus keluar juga, ada yang nggak. Paspor saya dan Musa termasuk yang dibawa karena mereka sepertinya butuh mastiin kalo Musa anak saya beneran.

“Where do you live?” –> “I live in Japan
“Is that your child?”
–> “Yes”
“Where is his father?” –> “Working in Stuttgart, I’m travelling”
“Do you have license card?” –> “What kind of license? I have only residence card from Japan”
“License or certification..” –> “Do you mean driving license or so? No, I don’t”
“Ya, because your name and your kid is not same” –> “I don’t have family name, his name has my husband’s name”
(and then they took our passports outside)
(meanwhile, I tried to open Dropbox to find Musa’ birth certificate, but my internet quota from bus was up.. we only got 150 MB free Wi-Fi for each trip and I didn’t have SIM card either)
(finally I found copy of his birth certificate in iMessage photos between me and hubby.. I showed it to the polices and they said OK)

Kendati mengeZalkan, saya berterima kasih sih dalam hati karena tandanya mereka preventif terhadap upaya penyelundupan atau penculikan anak. Nggak lama kemudian, bus berhenti lagi, kali ini di depan sebuah kantor semacam imigrasi gitu. Gantian polisi Swiss ngecek paspor kami, tapi cuma hahahihi terus udahan.

[story pics]

THREE HOURS IN Zurich

My heart was beating when touching down Zurich. What world will I see? Swiss has been my dream destination in Europe, but I always imagined the snowy mountain view with a lake beneath, green hills, country atmosphere with farms and its animals, pine trees, etc. Zurich, as told by my ex-roommate, is just like any other cities in Europe, so I was actually prepared for Luzern more. I need nature! Haha..

Our  bus stopped in the opposite side of main entrance of Zurich Hauptbahnhof. I spent a half hour to finally recognize my position and where the crowd was. There’s a large hall being used for farmers market in the first floor (erdgeschoss). In that area I found tourist information center too. This ground floor has beautiful interior with carving here and there. I rushed for finding counter to input SIM card for my cellphone, which happened to be available in an electronic store that sells mixer, computer, vacuum cleaner, etc. (see Inter Discout in this map).

Got the card installed, I proceeded to grab quick lunch from farmers market, stroll along Limmat river, then check in Platzspitz, then went back to the station before rain made us wet. Rain was on forecast two days in row either for Zurich and Luzern when we visited Swiss. Even only seeing Zurich I’d been impressed with the beauty of Switzerland.

Setelah pemeriksaan paspor kedua di kantor perbatasan Jerman dan Swiss (Kreuzlingen/Konstanz Autobahnzoll), tak berapa lama kemudian ternyata kami sudah tiba di Swiss dan bus menurunkan penumpang di tempat lain, bukan stasiun utama Zurich yang merupakan tujuan kami. Waktu bus berhenti kedua kalinya dan lihat hanya sebagian penumpang lain turun, saya santai aja. Karena di pengumuman sepertinya bukan tujuan juga. Lihat luar pun cuma kaya parkiran yang sepi. Tiba-tiba ada segerombolan anak SD masuk ke parkiran situ, terus saya jadi curiga bahwa kami sudah tiba di pusat kota. Tanya pak sopir, ternyata benar! Sudah di Zurich main station (Zurich Hauptbahnhof). Cepat-cepat kami turun ke lantai 1 dan keluar bus. Melihat masih banyak penumpang di bus, saya baru tahu kalo shuten (istilah di Jepang untuk “stop terakhir”) bus bukan di situ. Sama sekali nggak ada layar pengumuman yang nunjukin kita lagi di mana. Cuma dari halo-halo staf aja (phew..).

Begitu ketemu jalan raya, tram lewat silih berganti yang membuat Musa kegirangan setengah mati dan nggak mau beranjak pergi. LOL. Ada kali 10 menitan ngelihatin tram doang sampai akhirnya kami jalan mencari wujud stasiun.

Di stasiun saya lumayan hilang arah karena nggak langsung ketemu hiroba alias bagian tengah suatu gedung yang biasanya terbuka gitu, atau istilah bulenya semacam passage kali ya. Lantai pertama yang saya masuki hanya ada pertokoan yang agak gelap dan beratap rendah serta banyak tangga/eskalator yang menuju ke luar stasiun. Saya masuk dari satu minimarket ke minimarket lain cuma buat tanya apakah mereka jual SIM card dan jika tidak, di mana saya bisa membelinya. Berdasarkan petunjuk mas-mas KiosK, saya akhirnya lihat tengahnya stasiun yang ruameee dan ada pasar kagetnya. Di situ ada pusat informasi turis, tapi setelah masuk saya urungkan niat bertanya melihat antriannya panjang. Numpang foto-foto aja. Namun, andai saya lama di Swiss-nya, saya mungkin akan ambil tawaran di situ untuk menyewa modem wifi yang bisa dikembalikan di post office mana pun.

Singkat cerita, setelah bertanya ke staf di sebuah aksesoris HP yang saya kira jualan SIM card juga, diarahkanlah saya ke sebuah toko elektronik tak jauh dari situ. Ternyata toko ini jual kartu perdana. Fisiknya sih nggak ada sama sekali dipajang, tapi kita akan dibantu staf mereka untuk pendaftaran dan aktivasi melalui komputer mereka. Hahaha, aneh banget.. udah gitu pas saya minta kartu yang bisa dipakai di negara Eropa lainnyamereka bilang nggak ada. Beuh.. harusnya bisa, sih. Sayang saya nggak sempat pelajari jadi nurut aja. Mereka cuma punya merk Yallo  dan LebaraMahal bo, 19 franc untuk 1 GB data saja >.<

Urusan internet beres, kami buru-buru cari makan karena masih pengen melipir luar stasiun bentar sebelum cabut ke Luzern. Sebenarnya ada beberapa pilihan halal food di sekitar stasiun, tapi mengingat keterbatasan waktu, akhirnya saya beli vegetarian menu di farmers market yang lagi buka di dalam stasiun. Pemilik booth-nya asal Iran dan kebetulan juga Muslim, jadi tenang deh.

Zurich Hbf-Farmers-Market

Salah satu penampakan stand makanan di farmers market Zurich Hauptbahnhof. Keju segede-gede gaban gitu :O

Keluar dari stasiun, nyebrang jalan dikit akan ketemu sungai Limmat yang tersohor dan udah bisa lihat pemandangan yang mencengangkan kaya gini. Subhanallah. Belum sampai gunungnya Swiss aja udah bagus ya alamnya..

Zurich-Limmat river

Limmat river view from Bahnhofbrucke, Zurich

Niat saya di sini memang cuma lihat sungai Limmat yang ada di foto dan taman Platzspitz yang ngehits di Zurich. Itu juga karena bus berhentinya di sini aja jadi sekalian lihat kota sedikit (ada  alasan ambil rute ini di bagian bhs Inggris “Riding Double Decker Bus” di atas). Nggak ada waktu lagi kalo mau masuk-masuk museumnya. Dari Bahnhofbrucke kami menyisir sungai Limmat yang luar biasa indah melewati Walchebrucke dan sampailah di Platzspitz yang ternyata nggak kaya taman kota besar yang ada air mancur atau bebungaannya, tapi asyik buat nongkrong-nongkrong. Playground-nya pun seru. Ada miniatur catur yang bisa dimainkan beneran.

Niatnya nggak lama-lama aja di park karena takut kesorean sampai di Luzern dan nggak dapet city view-nya karena besoknya niat mau wisata alam seharian (ikuti ceritanya di Part 2), apalagi hujan tiba-tiba turun deras. Kalo niat beneran mau stay di Zurich barang sehari atau lebih, mungkin bisa coba ke Swiss National Museum dan Zoo Zurich. Cuma dua tempat itu aja yang kami bookmark di Zurich selain restoran halal. Hehe. Tiga jam saja di kota ini. Waktu udah habis buat bingung-bingung, aktivasi SIM card biar bisa internetan, makan, ambil duit, ke toilet, jalan santai terpesona keindahan kota, main-main di taman, dan tentu saja: jajan coklat Lindt yang di toko-toko dijual kiloan. Ke Swiss wajib banget beli coklat!

FROM ZURICH TO LUZERN

From Zurich main station to Luzern station, I took SBB train which costed 26 CHF (22 euro) for 2nd class. First class is quiet area, while 2nd class is family area which sometimes has playground inside carriage. It’s only less than one hour to reach Luzern and we stayed awake during trip even though felt super sleepy (been midnight a.k.a. over 2 hours from our bedtime at Japan). Thanks God for beautiful scenery along the way which kept my eyes tuned.

Kereta Swiss yang dioperasikan oleh SBB (entah Switzerland Bahn apa kepanjangannya) penampakannya mirip sama DB (Deutchland Bahn) di Jerman, termasuk layout papan rutenya. Bisa jadi ini dibuat juga oleh Jerman yang emang ahlinya teknologi. Swiss sih sepertinya bukan tipe-tipe negara para geek gitu.. kata suami juga pas saya cerita betapa keren kereta gunungnya mereka bilangnya ah paling Jerman yang bikin. Haha. Dari segi bahasa, Swiss juga pakai bahasa Jerman di mana-mana, tapi ada juga yang Prancis sih katanya. Nggak ada bahasa asli resmi.

Swiss-Bahn-Train

Swiss bahn, for interlocal transport within the country. Untuk lokal dalam kota mereka pakai tram dan bus.

Karena baru semalamnya saya tiba di Jerman dan segala tiket kereta dibeliin, di Swiss inilah saya belajar beli tiket sendiri, baca jadwal sendiri, dan membiasakan budaya berkereta di Swiss yang pastinya beda dengan Jepang, tapi ternyata sangat terpakai untuk hari-hari berikutnya di Jerman dan saat saya ngebolang lagi di Prague (ini cerita lain lagi, spoiler di sini). Kartu semacam Suica atau Pasmo yang turis aja bisa pakai (bahkan yang cuma 1-2 hari jalan-jalan) tanpa ribet gitu nggak ada di Yurop. Adanya paling kartu langganan sekian hari sekian zona. Saya pernah apply kartu langganan untuk seminggu saat di Stuttgart tahun lalu. Apply-nya harus di kantornya (Reisenzentrum), terus ada fotonya kita segala. Wakakak. Nah, kali ini karena kami pindah-pindah kota, seringnya pesan yang one day pass (tageskarte) aja. Itu juga kalau dalam kota. Kalo luar kota, tetap beli manual per perjalanan dan tidak selalu dicek petugas, tapi konon kalo ketahuan belum bayar dendanya lumayan menguras kantong 😛

Bodohnya, pas mau ambil duit franc-nya Swiss yang warnanya gonjreng-gonjreng inilah saya baru sadar nggak bawa kartu ATM Amrik yang rencananya mau dipakai selama di Eropa. Kami punya Capital One yang zero fee untuk ambil duit di semua negara. Akhirnya terpaksalah narik uang pakai kartu kreditDi kemudian hari kami baru tahu biayanya gede banget! (baca: setelah sampai Jepang baru tagihannya keluar.. sad T.T).

Swiss SBB CFF FFS train

Lucky us! 1 Klasse by mistake before we searched for 2 Klasse carriage. Karena khilaf, kami jadi sempat ngerasain duduk di kereta kelas 1. Haha..

Habis beli tiket, cari elevator, lalu cek jadwal kereta ke Luzern, ternyata sebentar lagi ada yang berangkat. Asal aja saya masuk kereta yang ada di platform tertulis. Begitu duduk tenang, sudah lepas jaket dan buka snack, kereta pun jalan. Selang 15 menit, petugas datang untuk mengecek tiket dan baru sadar kami duduk di gerbong kelas 1 (yang lebih mahal). Waduh, punteun pak.. Petugasnya lembut dan santai ngasih tahunya. Gerbong kelas 2 ada mulai gerbong ketiga katanya dan kursinya warna biru. Untuk menuju ke sana, kami harus naik tangga, melewati lantai 2 kereta. Kereta di Eropa, sama halnya dengan bus, rata-rata juga double decker.

Setelah cari tahu, saya baru ngeh bedanya 1 Klasse dan 2 Klasse. Kelas 1 ditujukan untuk pelanggan yang menginginkan ketenangan lebih, makanya diistilahkan quiet area, sedangkan kelas 2 dinamain family area yang kasarnya sih mungkin boleh bawa anak yang berisik dan pecicilan :))

arrived at LUZERN and soon we’re out

Welcome-to-Luzern-Gate

“Welcome to Luzern” gate, right across the Luzern station

My head was getting so heavy when we arrived at Luzern and I knew Musa was so. He looked very sleepy and quiet in his stroller. It had been over the midnight in Japan, so we’re suffering jet lag quite hard. I almost gave up my plan to see and photograph Chapel Bridge plus its surroundings, but how could I skip those charming views?

Thanks God our hotel is in the same direction with the bridge, so we definitely had to go through Reuss River (where Chapel Bridge or Kapellbrucke stands over)  to reach our hotel. As arrived at the hotel, I wanted to take a nap even a few hours and then go outside again for getting dinner, but turned we’re totally out! I woke up at 9 PM and even Musa at 3 AM the next day 😀

Alhamdulillah perjalanan lancar dan selamat dari Zurich ke Luzern. Pukul 16.24 waktu setempat kami tiba di Luzern station (nggak pakai “main” nama stasiunnya). Niatnya hari itu mau menyelesaikan semua atraksi di kota Luzern seperti melihat jembatan kayu tua Chapel Bridge dan Lion Monument serta kulineran malamnya. Sebelum hari gelap dan Musa tertidur, pikir saya. Besoknya kami akan berangkat ke pegunungan Alpen Swiss sampai siang dan nggak yakin sempat foto-foto cantik setelahnya karena mau ke museum juga, sementara harus kembali lagi ke Zurich untuk naik bus balik jam 7 malam ke Jerman. Kenyataannya, hanya Chapel Bridge saja yang sanggup kami datangi dan itu pun karena sejalan dengan hotel kami yang memang letaknya hanya sekitar lima menit jalan dari bridge. Lihat videonya di bawah ini.

Luzern-City-View-Bahnhofquai-Harbor

Cakepnya Luzern nggak nyantai, bikin mata ngantuk jadi agak melek lagi

Sesampainya di hotel, udah deh langsung pules anak sama emaknya.. nggak makan malam, nggak punya makanan juga. Ngantuk berat! Pas Musa bangun jam 3 pagi, terpaksa dibeliin instant pie di vending machine hotel, sedangkan saya sendiri cuma ngabisin roti rempah-rempah sisa makan siangnya. Saya kebangun jam 9 lebih dan nggak bisa keluar hotel juga karena Musa masih bobo. Lagian, cek toko-toko sekitar pun udah pada tutup, kecuali segelintir kafe. Ya lah, di negara yang work life balance-nya bagus (termasuk yang paling bahagia di dunia) mana ada yang masih mau ngoyo kerja sampai semalam itu?

Yang menarik adalah hotel kami bukan di tempat yang sudah dipesan. Awalnya saya pengen di AirBnB  aja kaya biasanya, tapi kata suami di kota cari hotel murah juga gampang dan karena di tempat baru lebih aman lah di hotel aja. Oke.. akhirnya kami dipesankan satu kamar di Hotel Pension Rosli (semacam guest house) sudah seminggu sebelum hari-H. Waktu saya tiba di lokasi, agak shocked ngelihat tempatnya kok kayanya di atas toko gitu, tapi di depan pintunya ada rute menuju meja resepsionis yang notabene ada di hotel seberangnya. Namanya Hotel Baslertor. Hotel ini dari luar kelihatan kecil, pintunya sempit, tapi begitu masuk, isinya kaya rumah megah dengan tangga melingkar ke atas.

Receptionist: “Your room will be here, no. 2**”
Me: “In this building?” (agak heran karena ini hotel lain)
Receptionist: “Yes”
Me: “Can I bring my stroller upstairs?”
Receptionist: “Yeah, the elevator is here”
Wow.. kaget juga di “rumah” model begini ada elevator kecil nyempil di bawah tangga. Kirain cuma karena satu manajemen aja jadi check in di sini, ternyata tamunya juga ditaruh di sini. Mungkin ini hotel barunya si pemilik Pension Rosli atau partner-nya.. entahlah. Yang jelas, saya puas banget bermalam di sini. Dengan tarif 69 CHF, ruang gerak dan fasilitasnya sepadan lah.. ditambah lokasi yang cukup strategis dekat dengan pusat kota. Makanya sampai kami tidurnya luar biasa nyenyak sampai perut lapar tak terasa 🙂

* to be continued to Part 2
*bersambung ke bagian ke-2

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s