Yesterday I stopped by at a post in blogger group I join. The post starter, a bride-to-be girl, is asking for other members’ opinion about choosing wedding makeup artist and by chance she comes from the same city with me :grin:. While sharing my experience, I recommended her to look at my wedding-related posts in this website, but I just realized that I haven’t written in detail about our wedding outfit and face make-over than what it looked at a glimpse of the ceremonies. So, here we go.. hope it can help you, Mbak!
Memilih tukang rias pengantin yang cocok memang cukup susah, apalagi kalo kriteria cocoknya meliputi gaya riasan, ketrampilan, karakter, dan harga! Hahaha. Karakter di sini maksudnya mengacu pada apakah si tukang rias ini terbuka dengan masukan atau keinginan pelanggan atau tidak, teliti atau tidak, jorok nggaknya, kooperatif nggaknya, dsb. Nah, dalam kasus saya, pengetahuan seputar kriteria-kriteria di atas cukup terbantu dengan jaringan pertemanan mama saya dengan para pemilik salon di kota kami. Maklum, profesi Mom (begitu saya memanggilnya) sebagai penjahit sedikit banyak berhubungan dengan perkara dandan, baik untuk pelanggannya maupun pribadi / keluarga. Waktu kecil, saya sering diikutkan lomba peragaan busana (fashion show) juga.. uhuk.. jadinya pernah nyobain berbagai macam salon. Kalo buat pelanggan, beliau biasanya berhubungan dengan salon ketika mendapat pesanan jahit atau sewa kostum acara tertentu seperti baju daerah dan marching band, minimal beliau memberi rekomendasi kepada pelanggan salon mana yang bisa atau spesialis dalam hal tertentu.
Bermula dari relasi itu ditambah pengalaman keluarga kami yang kebetulan langganan ke salah satu tukang rias dari zaman bulik saya menikah, Mom menjatuhkan pilihan kepada tukang rias tersebut untuk pernikahan saya. Saya sebenarnya sempat underestimate karena di kota kecil kami, tampaknya para perias yang rata-rata udah berumur itu masih pada jadul, nggak segaul yang di kota-kota besar soal perkembangan mode. Hahaha.. tapi saya pun benar-benar blank buat cari tukang rias dari luar kota saat itu dan nggak ada waktu lagi lah.. jadinya manut aja. Hanya saja, saya langsung ajukan banyak permintaan dan Mom meyakinkan saya bahwa si perias bisa mengakomodasinya. Ya sudahlah.. karena tukang rias pilihan ini selain udah tersohor seantero kota juga bisa sekalian memberikan servis lain semacam dokumentasi dan dekorasi dengan harga paket yang totalnya lebih murah daripada kalo kami ke macam-macam vendor, makin mantaplah orang tua menerima tawarannya.
Setelah perias manten diputuskan kurang lebih tiga bulan sebelum pernikahan, saya yang saat itu masih di Jepang mulai berkomunikasi tentang kostum dengan Mom melalui email. Saya beberapa kali mengirim foto-foto dekorasi dan riasan pernikahan yang saya dan calon suami inginkan disertai teks uraian permintaan sebagai referensi. Cara ini cukup efektif membantu vendor memahami keinginan kami dan mempersiapkan perlengkapan jauh-jauh hari sebelumnya. Hasilnya cukup memuaskan lah buat ukuran ‘desa’, nggak norak dan nggak terlalu tradisional seperti bayangan awal kami ketika melihat contoh-contoh karya mereka :P. Karena sudah pulang sebulan sebelum hari-H, saya juga berkesempatan melihat langsung pesta pernikahan yang mereka tangani lebih dulu.
Tentang dandanan, saya hanya menggunakan jasa vendor untuk merias wajah karena kostum sudah dijahitkan oleh Mom (I’m so lucky having her as a professional tailor!). Pesanan saya intinya tidak sulit: syar’i dan manis minimalis. Seperti halnya dekorasi, saya juga mengirimi sang ibu perias dengan berbagai contoh riasan pengantin muslimah melalui email Mom sebelum pulang kampung dan bertemu beliau. Saya sampaikan juga bahwa saya concern soal kerudung yang harus menutup dada atau tidak menampakkan tonjolan. Untuk kostum akad, Mom mengakalinya dengan tambahan rompi luar, sedangkan untuk resepsi, bagian dada kostum dibuat longgar dan berpayet. I don’t know whether it’s a bliss or misery that I never have any problem to ‘secure’ my bumps :lol:.
Sementara kostum dikerjakan, hubungan saya dan perias hanya sebatas merencanakan saja, lalu baru ketika gladi bersih (H-7), baru deh saya bicarakan tentang detil make up yang saya mau, diantaranya (kalo saya nggak salah ingat.. maklum, udah dua tahun lalu :mrgreen:):
- menonjolkan mata tanpa harus mengerik alis dan memasang bulu mata palsu karena yang saya tahu riasan di bagian mata itu paling mempengaruhi beda enggaknya seseorang sebelum dan sesudah dirias
- pakai lipstik warna terang, tapi bukan merah ngejreng
- aksesoris di kerudung harus yang modern, nggak mau pakai yang terlalu njawani atau tradisional 😮
- kerudungnya nggak terlalu tinggi kaya yang dibilang orang-orang mirip punuk unta
- secara keseluruhan riasan mau yang simpel dan minimalis, tapi tetep manis (halah)
- nggak mau dilukis tangannya, diganti gelang aja, tapi kutek tetap pakai (pakai cairan henna itu juga sih)
- high heels-nya bukan yang bikin capek kaya stiletto (ohya, walaupun kostum dibuatin Mom, sepatunya tetap dari perias)
In the end, I had a hard time to argue about point 3, 4, and 5 :cry:. Periasnya bersikukuh untuk memberi saya dandanan yang dinilainya paling bagus. Bisa dipahami sih kalo kita pakai kacamatanya perias bahwa mereka memikirkan soal reputasi. Misalnya nih ya, masalah kerudung, perias saya itu menyarankan saya pakai hiasan kepala yang mampu mengesankan badan saya lebih tinggi karena gap tinggi saya dan suami agak jauh. Ya sebagai perias nggak mau dong dibilang nggak becus sama orang-orang karena nggak bisa menyamarkan ‘derita’ saya itu, wkwk :grin:. Beneran, meski udah pakai high heels sekitar 10 cm tetap aja nggak kebantu.. hahaha. Nah, saya yang udah tahu resiko itu sebenarnya udah pasrah aja, pokoknya nggak mau kaya bawa ‘pesugihan’ di atas kepala! Namun toh pada hari-H periaslah yang punya kuasa atas kepala saya dan seperti yang bisa dilihat di sini.. it still turned out high for me.
Nggak cuma soal kerudung aja yang sepertinya mengancam reputasi si ibu perias. Hihihi.. masalah aksesoris dan gaya make up juga. Katanya, dalam acara seperti pernikahan itu sang ratu haruslah terlihat paling menyilaukan di antara yang lain (eh nggak gitu sih bahasanya.. tapi intinya harus paling guenjreng, paling wow, paling cantik, dsb.) sehingga aksesoris dan make up-nya musti yang kelihatan dari jarak jauh, sedangkan kalo ngikutin maunya saya hal itu bisa sulit diwujudkan. Pertama, aksesoris buat kepala / kerudung modern milik perias pilihannya terbatas, warnanya silver yang cenderung kalem dan bakalan udah kepakai untuk akad, jadi untuk resepsi / walimah hanya tersisa ‘mahkota-mahkota’ warna emas yang lebih ‘menyala’. Mungkin saya aja yang katro sih karena kekinian atau nggaknya kan nggak ada hubungannya sama warna, apalagi menurut perias aksesoris yang ingin ia sematkan di kepala saya itu model terbaru, cuma saya kok lihatnya warna emas itu identik dengan printilan kostum adat Jawa :roll:. Kedua, dengan syarat “make up minimalis” berarti ada resiko kurang kelihatan ber-make up ketika dilihat dari jauh atau wajah saya terlihat pucat. Lagi-lagi, bisa dibayangkan, jika hal-hal itu terjadi, bisa aja ada bisik-bisik orang yang menilai periasnya nggak jago, manten-nya kasihan ‘tenggelam’ di antara dandanan tamu lain.. Mom yang pernah belajar tata rias juga memahami hal itu sehingga dalam kali ini condong ke perias. Hehehe.
Adu argumentasi antara kita dan keluarga atau kita dengan pihak lain pasti ada dalam menyiapkan pernikahan. Entah udah berapa kali saya dengar cerita teman yang sulitnya bukan main mengusulkan pesta pernikahan Islami kepada kedua orang tuanya. Perbedaan latar belakang dan pengalaman tentu berpotensi menimbulkan gesekan. Satu hal yang harus kita ingat adalah pernikahan bagi seorang wanita merupakan hajat milik orang tuanya sehingga orang tua berhak menentukan akan seperti apa acaranya, siapa saja yang diundang, dan vendor mana yang dipilih. Kita sebagai anak bisa memberi masukan dengan cara yang baik dan kalo beda keinginannya cukup ekstrim alias nggak bisa milih salah satu, sebaiknya dipilih jalan tengah yang mampu mengakomodasi kedua ambisi (tsah..) meskipun sama-sama tidak 100% terpenuhi. Males juga kan kalo pas hari bahagia ada yang bete :smile:.
Urusan rias-merias antara akad dan walimah tidak jauh berbeda dalam pernikahan kami. Kriteria yang saya ajukan ke perias masih sama dan malah saat gladi bersih itu yang diujicobakan kostum walimah, jadi lebih terbayang ketimbang dandanan akad. Ohya, soal agenda trial ini coba ditanyakan sebelum deal deh ada biayanya atau nggak. Kalo saya alhamdulillah dapat gratis dengan peralatan dan bahan make up yang sama persis seperti hari-H (harganya jutaan, bo! makanya wajar kalo ada yang narik bayaran buat uji coba.. bisa tekor kalo semua pelanggan digratisin :mrgreen:). Saya nggak tau gimana perjanjian di balik layarnya, tapi mungkin karena Mom udah temenan baik sama periasnya. Berharga banget lho sesi eksperimen itu, bisa menghemat waktu periasnya buat mikir dan tenaga kita buat berdebat (haha..) saat hari-H, terlebih kalo acara kita mulainya pagi seperti kami (pukul 8.00).
Kembali ke tips mencari tukang rias yang cocok di kota Anda masing-masing. Kalo kasusnya kaya saya, yang periasnya dicarikan orang tua, pandai-pandailah berdamai dengan ekspektasi pribadi. Andaikan Anda mau A, B, C, D, tapi sekiranya hanya A, B, dan C yang bisa dipenuhi oleh vendor, asal bukan hal esensial seperti yang menyangkut aturan agama misalnya, berlapang dadalah.. bahkan sekali pun kita menemukan vendor terbaik di seluruh negeri, belum tentu saat hari istimewa kita kerjanya sebagus biasanya. Siapa yang bisa menjamin seorang manusia bebas dari kesalahan? maka banyak-banyaklah berdoa, minta yang terbaik ke Allah :wink:. Syukur-syukur kalo perias yang dipilihan orang tua sesuai dengan selera Anda. Minimal mereka biasanya minta persetujuan Anda dulu lah sebelum deal.. seperti yang saya singgung di atas, kalo saya sendiri karena belum punya bayangan mau siapa akhirnya mencoba bekerja sama sebaik-baiknya aja dengan sang perias terpilih. Dalam skenario yang lebih beruntung, Anda mungkin bisa menentukan perias sendiri dan mewujudkan semua ekspektasi Anda. Namun percayalah, bagi kami di kota kecil seperti saya ini pilihan yang ada tidak banyak, kecuali mau mendatangkan perias dari luar kota :smile:. Hal itu sangat mungkin direalisasikan.. bahkan suami saya dulu sempat usul gimana kalo ngadain pesta di kota besar seperti Semarang, Jogja, atau Solo aja biar lebih profesional vendor-vendornya, lebih gampang dijangkau transportasi umum, dan lebih banyak alternatif akomodasi untuk keluarga. Kalo budget cukup buat itu, hajar aja… nikah kan sekali seumur hidup, jadi you deserve to get the best deal!
Happy planning!