The Day when He Knocked The Door to The World


Banyak yang penasaran nanyain proses kelahiran Musa karena memang tidak saya sebutkan saat ‘launching’-nya apakah lewat persalinan spontan atau c-section 😛 Sebagian bertanya karena sedang hamil dan ingin tahu bagaimana melahirkan di sini. Amrik ini rada lain daripada yang lain terkait persalinan. Rumah sakitnya punya standar unik dalam memperlakukan ibu dan bayi yang diterapkan di seluruh state. Kontrasnya, persalinan alternatif di luar rumah sakit juga makin marak di sini, apalagi setelah satu per satu dilegalkan alias dilindungi oleh undang-undang. Hal tersebut terlihat jika kita menyimak bab semacam choosing your provider yang hampir selalu ada di buku-buku seputar kehamilan. Saya, yang kebetulan tinggalnya dekat rumah sakit bertaraf internasional milik kampusnya suami, alhamdulillah jadi tidak perlu susah-susah memilih akan melahirkan di mana dan bagaimana.

Asyiknya hamil di sini karena resources panduan ibu hamil yang ngetop baik online maupun offline asalnya dari Amrik, saya bisa mencocokkan antara teori dan praktiknya, yang ternyata seringnya persis! Misalnya, kalo menurut teori di minggu antara 24 dan 28 saya harusnya menjalani glucose test, eh.. bener emang di usia kehamilan 26 minggu saya dijadwalkan tes glukosa. Atau contoh lainnya, kalo menurut teori hamil usia 35 tahun ke atas beresiko tinggi dan harus tes DNA, maka begitulah yang saya dengar dari senior-senior berkriteria tersebut. Alhasil saya enjoy banget melahap berbagai bacaan dari internet, aplikasi HP, atau buku-buku, sedangkan di saat yang sama teman-teman sesama bumil di Indonesia beberapa kali nanya ke saya tentang tes ini-itu yang dia nggak dapat dari tempat kontrolnya. They even have no idea what those are.. ya iyalah saya juga banyak yang baru tahu setelah di sini 😀 Meski kesannya ribet karena banyak tes yang harus dijalani selama kehamilan, setelah sharing dengan teman-teman di Jepang / Indonesia, sebenarnya sama aja ribetnya hanya beda fokus. Hehehe..

That Amazing Feeling

“Do you believe that he is here?”, tanya Mary, seorang nurse yang bertugas mengunjungi saya dua hari setelah keluar dari RS, ketika Musa berusia empat hari. Di sini, ibu dengan persalinan normal tanpa komplikasi atau masalah lain termasuk pada bayinya, hanya tinggal di RS selama dua hari, lalu diikuti dengan program “Nurse Visit” di rumah masing-masing minimal dua hari kemudian. Kami (saya dan suami) hanya 36 jam berada di RS sejak check-in ruang triage (tempat ngecek apakah pasien udah layak dirawat inap di RS) hingga check-out ruang postpartum (kamar buat ibu dan bayi serta keluarganya pasca melahirkan). Selama masa tinggal di RS yang singkat itu, kami lumayan sibuk menjalani serangkaian pemeriksaan atau tindakan medis baik bagi ibu maupun bayi. Kalo ada waktu, insyaaAllah nanti saya ceritain di lain tulisan deh.. bocoran dikit: Musa udah disunat, lho! 😀

A bundle of guide to take care of newborn at home, given by visiting nurse

A bundle of guide to take care of newborn at home, given by visiting nurse

“Well.. I don’t believe it. I still can’t believe that he’s in my hand as that soon. My labor and delivery were fast,” itu akhirnya jawaban saya buat pertanyaan Mary tadi, yang sepertinya lebih ke perasaan “masih nggak percaya aja dulu bayi ini tumbuh di perut kita” menurut istilahnya jeng Elin. Nggak pernah ngira semenakjubkan itu rasanya ketemu seseorang yang selama sembilan bulan menyatu dengan diri kita, makan, minum, senang, dan sedihnya pun tergantung kita, tapi cuma bisa dibayangin wajahnya (oya, saya nggak dapat 3D ultrasound..hiks hiks). Entah tujuan mereka nanya itu di kuesioner apa, tapi kata Anom, mungkin ada hubungannya sama kondisi psikologis ibu. Demi mastiin kalo saya masih waras mungkin, padahal kalo nggak salah dua malam sebelum kunjungannya itu saya baru ngalamin malam yang super berat dan sepertinya nge-baby blue karena Musa hampir tiap jam nangis jerat-jerit nggak bisa tidur, diperparah dengan skill menyusu dan menyusui yang masih buruk. Memang satu hal yang saya nggak expect bakal se-wow ini sebelum lahiran adalah aktivitas ngasih makan si bayi. I won’t lie.. breastfeeding is exhausted and needs much more patience than pregnancy. Untungnya, selain malam itu, alhamdulillah sampai hari ini kantuknya nggak separah begadang zaman kuliah saat skripsi, ujian, atau ngejar deadline tugas dulu sih.. terima kasih kampus gajah, especially prodiku yang aduhai, telah menempaku sekeras baja.. hahaha 😀

Early Signs

Musa sebenarnya sempat kasih tanda kalo mau keluar kira-kira seminggu sebelum lahir. Siang itu (28 April) sehabis kontrol ke dokter kandungan (selanjutnya kita sebut OB), saya jalan-jalan keliling daerah downtown Ann Arbor lumayan lama, dari jam 11 sampai jam 2 siang. Belum pernah saya exercise selama itu, paling kalo jalan kaki cuma 20-30 menit. Sorenya tiba-tiba di bagian bawah perut saya merasakan tekanan yang luar biasa sampai bikin saya susah jalan. Karena susah mendefinisikan bagian apa itu, saat telpon RS saya katakan, “I have a lot of pressure down in my genital area between legs. I don’t know whether it’s in vagina, pubic, or pelvic.” Staf triage center di RS yang nerima telpon kemudian minta waktu buat meninjau riwayat prenatal care dari OB saya dan nelpon balik. Kesimpulannya, karena saya belum ada kontraksi jadi tidak perlu dicek dan disarankan minta dicek saat kontrol dokter berikutnya (5 Mei). Menderita deh selama nunggu kontrol itu.. mana hopeless nggak ada kontraksi. Dari yang saya pelajari, tidak akan terjadi apa-apa sebelum kontraksi datang meski tekanan di bagian bawah menandakan kepala bayi sudah drop alias masuk panggul. Kalo ditanya kaya apa sakitnya, saya jawabnya kaya dimasukin palu godam, buat berdiri atau jalan sakit dan harus sedikit ngangkang jalannya kaya anak abis sunat. “Jalan kaya penguin,” kalo versinya kak Zahra. So true :mrgreen:

Last check up (05/05)

Last check up (05/05)

Tekanan yang sangat menyiksa di bagian bawah itu anehnya lama-lama berkurang dan hilang-muncul sampai saat kontrol OB pun tiba. “Since you have many complains last week, I will check you,” kata bu dokter Nicholson, yang mendampingi saya sejak usia kandungan 8 minggu. Saya bilang ke dia seperti yang saya bilang ke semua orang lainnya dan saya mohonkan pada Allah kalo saya pengen lahiran minggu itu, berharap dia kasih tips mempercepat datangnya kontraksi atau apa kek 😛 Sayang, dia hanya tersenyum *patah hati*. Emang dia mah orangnya gitu.. pelit bicara, jelasin yang ditanyain doang. Yang dia lakukan adalah memasukkan jari-jari tangannya ke ‘jalan lahir’ buat ngecek bukaan. Rasanya? Beuh.. jangan tanya, sakiiiit bo! Tambah ngeri pas darah yang keluar merah banget, setelah sekian lama nggak lihat darah >_< Antara bingung dan kecewa, ternyata saya sudah bukaan 1. Bingung karena saya nggak merasa ada luruhan mucus plug sebagai tanda terbukanya ‘tutup’ di mulut rahim, yang konon diikuti kontraksi dan bukaan setelahnya, tapi kata dokter memang tidak selalu keluar seperti flek darah. Kecewa karena kontraksi 1-2 ke kontraksi berikutnya bisa hitungan hari atau minggu dan saya ketika itu merasa sepertinya masih lama. Nggak ada feeling sama sekali, sementara suami dan seorang teman (yang sebetulnya nggak akrab) sama-sama menebak Musa akan lahir hari Jumat, artinya tiga hari lagi.

Bersamaan dengan tekanan, saya juga kembali merasakan mulut yang pahit (metallic taste) seperti habis minum obat, persis seperti ketika hamil muda dulu. Kaki juga rasanya makin bengkak sampai saya harus beli sandal jepit. Sandal jepit ini rupanya di kemudian hari turut menemani selama proses lahiran di RS 🙂

Welcome, Long-Awaited Contractions! 

Hari Kamis itu (7 Mei), saya terbangun pukul empat pagi karena perut yang terasa melilit seperti mau mens. Tumben banget sakit perut bikin saya sampai kebangun. Di situ saya mulai curiga jangan-jangan ini kontraksi. Usia kandungan saya saat itu 39 minggu 3 hari dan sudah sejak dua minggu sebelumnya saya cemas karena belum merasakan kontraksi palsu (braxton hicks contraction) sama sekali, padahal saat masih 34-36 minggu hamil, 1-3 kali sehari ada lah ngalamin tiap malam atau pagi. Lha ini udah full-term kok malah si perut tenang-tenang aja. Saat itu, saya jadi ngerti betul perasaan ibu-ibu hamil besar yang pengen cepat melahirkan. “I wanna over this pregnancy as soon as possible,” kata saya ketika ditanya “How is your feeling?” di kelas english conversation sehari sebelumnya. Hamil tua itu serba nggak enak: gerakan terbatas karena perut ngganjal, duduk di bawah sakit, bengkak / perasaan linu di tangan dan kaki, sering kebelet pipis, jalan cepet capek, horor lihat timbangan –> bukan takut gendut tapi karena penyakit-penyakit menjelang kelahiran bayi berhubungan erat dengan berat badan 😛 Paling takut sama preeclampsia, apalagi jari tangan sempat bengkak dan tekanan sistole di atas 120. Parno deh makan yang asin-asin..

Berbekal penuturan mama dan sedikit pengetahuan dari artikel-artikel kehamilan yang saya baca bahwa kontraksi itu kurang lebih seperti sakit perut saat mens atau kebelet boker, setelah dua jam nahan sakit, saya tambah yakin kalo baby M is on the way. Hari masih pagi ketika itu, pukul enam, dan tiga jam lagi suami harus berangkat ke luar kota karena ada job interview. Sederet rencana terkait kedatangan si kecil yang belum terealisasi masih ingin diselesaikan dan seperti biasa kekuatan ekstra suka muncul mendekati deadline. Setelah sarapan cereal, saya mengeksekusi bahan-bahan di kulkas untuk dimasak sebagai stok makanan selepas melahirkan, sedangkan suami menghubungi senior yang punya mobil untuk jaga-jaga kalo saya perlu diantar ke RS selama dia pergi plus menginstal aplikasi taksi di HP saya. Sejak remaja, kebetulan tiap mens saya pasti kesakitan di hari-hari pertama, bahkan seringnya kalo lagi kumat harus bolos sekolah atau kuliah, jadi kontraksi yang saya rasakan pagi itu alhamdulillah masih bisa ditolerir dan diajak kerja. Kontraksinya juga masih aneh, kontinyu tak berjeda dan tidak bertambah kuat.

Jam demi jam berlalu, sambil masak saya sempat chatting sama ibu-ibu tetangga di sini dan mama di Indonesia ngobrol ngalor-ngidul soal pengalaman lahiran. Saya juga masih sempet-sempetnya nerusin DIY projects buat kamar bayi. Saya pede banget kalo baby M bakal nunggu ayahnya pulang sebelum keluar. Menjelang pukul 12 siang, suami pulang dan segera membantu saya menyelesaikan ‘amunisi’. Sayur lodeh, ayam betutu, daging sisit, pentol bakso, dan daging giling bumbu taco sudah berhasil diamankan di freezer ketika kontraksi saya rasakan mulai berpola jeda dan durasinya. Ada masa-masa puncak ketika perut terasa seperti diremas, lalu melemah, hilang, kemudian muncul lagi. Antara pukul 2-3 sore itu saya mulai nggak berdaya ngerjain apa-apa karena jaraknya sudah 5-10 menit sekali. Sementara saya mantau perkembangan kontraksi, suami masih lanjut melapisi chicken nugget.. teuteup, antisipasi ‘paceklik’ pasca melahirkan itu penting 😀

Setelah salat Duhur, kontraksi yang berjeda lima menitan atau kurang terasa lebih banyak dibandingkan yang sepuluh menitan dan lamanya rata-rata semenit. Kerjaan saya bolak-balik ke kamar mandi, nggak bisa lagi main-mainin aplikasi HP, jadi suami yang ambil alih mencatat perkembangan kontraksi. Sejam seperti itu, kami pun memutuskan untuk menghubungi triage center. Ini adalah semacam UGD alias emergency room gitu yang bakal nentuin apakah kita sudah layak masuk RS atau belum. Meski emergency, tetep aja harus nelpon dulu sebelum datang dan menjawab sederet pertanyaan dari mereka sebelum dapat ‘izin’ ke sana. Dalam situasi genting, tentu saja hal itu terasa menyebalkan 😛 Pertanyaan mereka diantaranya:
– Berapa menit sekali kontraksinya
– Berapa lama tiap kontraksi
– Ada bleeding (pendarahan) nggak
– Ada water break (air ketuban pecah) nggak
Karena dua pertanyaan pertama jawabannya signifikan, intinya saya dibolehkan datang untuk diperiksa. Horeee.. walaupun dari mulai keluar rumah nggak yakin bakal lanjut nginap di RS saat itu juga, kami tetap bawa hospital bag lengkap dan mengamankan makanan-makanan ke kulkas. Ohya, dari yang saya baca, kalo sudah masuk ruang bersalin, suami harus disiapkan stand-by terus di samping kita tanpa pulang ke rumah. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di RS, kan..

Spending First Stage of Labors at Home

triage-room-band

Gelang identitas pasien di ruang triage

Pukul setengah lima sore, saya masuk ruang triage, disuruh ganti gaun RS, dan nampung urin. Seorang staf (sepertinya nurse) datang untuk memasukkan data administratif ke komputer (komputer biasa, buat display hasil baca alat-alat yang dipasang ke pasien dan cetak-mencetak) di sebelah tempat berbaring saya. Saat itu, preferensi kita tentang persalinan yang diinginkan juga ditanya dan dicatat. Nah, disinilah pentingnya kita mempersiapkan dokumen birth planSecara teori, seharusnya salinan dokumen itu kita serahkan ke staf-staf medis yang akan membantu persalinan kita, tapi tidak selalu situasinya mendukung. Dalam kasus saya misalnya, kami tidak punya cukup waktu untuk mengkomunikasikan birth plan kami karena proses yang sangat cepat. Kata OB saya, minimal dokumen itu sebagai pegangan kita sendiri (calon ibu dan pasangan) sehingga ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan di detik-detik yang mendebarkan, kita tidak perlu berpikir lama dan panjang lagi, apalagi sampai bengong nggak tahu apa-apa 😛 Jujur aja, gara-gara bikin birth plan kami sangat terbantu memahami istilah-istilah asing semacam IVF, epidural, episiotomy, birthing stool, squat bar, acupressure, augmentation, clamped (terkait tali pusar), dsb.

Di triage, meski belum tentu dirawat, saya udah dikasih gelang identitas pasien. Seorang nurse lainnya yang lebih senior datang dan memeriksa bukaan saya. Eng ing eng.. kembali saya dibuat kecewa karena masih bukaan 1. Huaaa.. kontraksi seharian itu ternyata nggak berhasil nambah bukaan 😦 Memang sih sakit kontraksinya masih bisa saya atasi karena masih terasa seperti dysmenorrhea (sakit perut saat mens). Kata si nurse yang meriksa saya, kalo labor beneran alias udah ber-progress bukaannya, “You won’t be able to walk or even talk”. Busyet.. bukannya menenangkan malah nakut-nakutin. Intinya, saya disuruh pulang sama dia karena belum layak dimasukkan ke ruang bersalin. Hiks hiks.. tapi sebelum pulang dia masang alat ultrasound di perut saya (yang ternyata jadi ultrasound  terakhir sebelum Musa lahir, setelah sebelumnya dicek di usia 26 minggu.. FYI di Amerika rumah sakitnya pelit ngasih USG :P) untuk memastikan bahwa posisi bayi sudah tepat. Selain kepala di bawah, wajah bayi juga diharapkan menghadap ke punggung ibu (anterior) agar mudah untuk keluar. Alhamdulillah, Musa was on the right track.

Kami pun pulang… menanti saat yang tepat untuk kembali ke rumah sakit. Dengan perut yang masih kesakitan, saya pun berjalan lunglai ke parkiran sembari mulai berpikir keras akan melakukan apa di rumah untuk mempercepat bukaan. Untung saya masih dikasih kesadaran penuh jadi alih-alih mengeluh atau menangis, yang ada di otak saya malah teori-teori tentang persalinan dan yang keluar dari mulut saya hampir selalu istighfar tiap kontraksi datang. Pokoknya yang kepikir saat itu cuma pengen cepat melahirkan dan nggak mau semalaman tersiksa mengingat ketika sampai rumah masih pukul 18.00. Bayangan pengalaman teman-teman yang harus minum morfin, yang dua hari dua malam kontraksi di RS, dan yang berjam-jam nahan sakit karena diinduksi tiba-tiba melintas… menghantui pikiran yang sudah galau 😐

Highly recommended!

Highly recommended!

Setibanya di rumah, saya baca lagi dua buku yang somehow cukup ‘menghibur’ ketika itu: Our Bodies, Ourselves: Pregnancy and Birth dan Natural Hospital Birth. Buku pertama berisi panduan lengkap mulai dari merencanakan kehamilan hingga masa-masa awal merawat bayi, dikasih klinik saat pertama kali datang ke OB/Gyn. Dari buku ini saya kembali mengingat tanda-tanda setiap tahapan persalinan dan apa yang akan terjadi pada kita dan bayi kita di ruang bersalin nantinya. Buku kedua baru saya pinjam dari library seminggu sebelumnya, tapi sangat berpengaruh meningkatkan rasa percaya diri demi melahirkan secara alami di tengah maraknya praktik non-alami di rumah sakit-rumah sakit Amrik :wink:. Di negeri ini, natural birth jadi barang yang langka. Persalinan spontan melalui vagina belum tentu berjalan dengan alami tanpa obat. Pain killer semacam epidural sangat lazim ditawarkan untuk menyamarkan sakit kontraksi. Terbukti hampir semua ibu di sini yang saya tanya menyarankan saya pakai itu karena mereka merasakan manfaatnya. Saya sempat tergoda untuk mengambil opsi pain-free tadi, tapi kemudian karena baca buku ini semakin yakin bahwa saya mampu melahirkan sealami mungkin, apalagi setelah tahu teman-teman di Indonesia maupun Jepang juga umumnya melahirkan tanpa dikasih apa-apa. Orang zaman dulu pun bisa, pikir saya. Akhirnya saya pun meneguhkan diri untuk tidak mengubah birth plan di mana intinya saya akan memutuskan pengunaan obat-obatan ketika saya merasa sudah tidak tahan.

Kurang lebih sampai tiga jam saya berjibaku dengan sakit perut sambil duduk di sofa ruang tamu. Saking seringnya kontraksi datang, kami udah nggak begitu peduli lagi buat mencatat perkembangan kontraksi. Saya masih ingat betul, seusai salat Maghrib (di atas jam sembilan malam, lupa jam berapa), sakit kontraksi mulai tidak bisa ditolerir. Saya bilang ke suami, “Ini sakitnya udah nggak kaya saat mens deh!”. Untungnya pola kontraksi masih teratur, puncak sakitnya berjeda meskipun hanya sebentar. Suami yang juga ikutan sibuk baca-baca, akhirnya menyuruh saya untuk berendam air hangat. Katanya, menurut yang dia baca, berendam terbukti punya efek yang lebih baik daripada obat-obatan untuk mengurangi sakit kontraksi. Awalnya saya ogah pindah tempat, tapi karena udah disiapin bath tub-nya, akhirnya saya nyemplung juga tuh ke bak yang airnya kurang hangat. Kok ya kebetulan air panasnya lagi bermasalah.. tiba-tiba jadi nggak panas gitu.. hiks hiks. Sementara suami benerin instalasi air di bawah, saya merasakan keajaiban berendam. Saya jadi ingat kata-kata seorang ibu di buku kehamilan, “My labor pain felt like melting in the water”. Bener banget, efeknya luar biasa! Sakit kontraksi jadi berkurang seolah meleleh oleh kehangatan air. Pantes aja kalo saya lihat video-video lahiran di air (water birth) itu tampak lebih tenang dan santai daripada yang di atas kasur ruang bersalin.. cuma kan harus telanjang, malu dong.. wkwkwk :roll:.

Berhubung airnya semakin dingin, saya mentas dari bak mandi menjelang tengah malam, kemudian salat Isya’. Nah, entah kenapa tiap abis salat episode kontraksi baru seperti dimulai. Seusai salat itu saya berbaring di kasur, suami juga siap-siap mau tidur, sama-sama menduga bakal masih lama nih sakitnya, jadi mending istirahat dulu. Ternyata, selama berbaring itu rasa sakitnya makin nggak karuan. Nggak pakai jeda lagi!!! Sakit parah banget pokoknya!!! Saya tahan-tahan sampai sejam, mencoba buat nggak bangunin suami, karena mikirnya emang kaya gitu sakitnya dan masih bakal lebih sakit lagi nantinya. Sambil terus istighfar, satu ‘mantra’ yang saya ingat dan memberi kekuatan ekstra adalah You are feeling pain for a purpose, each pain brings you closer to see your baby. Ya, adakah yang lebih indah daripada merasakan sakit demi tujuan besar: mengantarkan sebuah kehidupan baru?

Whatever, yang jelas setelah sejam kaya mau mati, saya akhirnya nggak tahan lagi, pukul 01.10 saya bangunin suami, saya minta dia telpon triage center. Pas dia ‘diwawancara’ sama staf di seberang sana, dengan posisi lagi di pinggir kasur dan kaki ke bawah, cesssssss.. terasa ada rembesan air yang tak terkendalikan di pembalut saya (saya udah pakai pembalut sejak dua hari sebelumnya sejak ada flek merah tanda mau melahirkan). “Bilang, air ketubanku pecah!”, teriak saya ke suami. Aduh, kesel banget pake ditanya-tanya warnanya apa, berapa banyak, dsb. saya mau ke kamar mandi aja nggak kuat jalan. Heu.. bener apa yang dikatakan si suster sore hari itu kalo saya bakal nggak bisa ngomong dan jalan ketika active labor datang! Okay, let me tell you little more about active labor..

Labor (proses persalinan dari mulai terjadinya kontraksi rahim hingga melahirkan) dibagi menjadi tiga tahap: masa-masa kontraksi, saat mengeluarkan si bayi, dan saat mengeluarkan plasenta. Nah, tahap pertama itu dibagi lagi menjadi tiga fase:

  • latent labor, yakni ketika kontraksi-kontraksi baru bermula, termasuk keluarnya flek merah, biasanya rahim sudah mulai memipih di atas dan terjadi bukaan meski baru bukaan 1-2 (ke bukaan berikutnya bisa hitungan hari atau minggu) dan tidak selalu sakit–> ini yang saya ceritain di atas sini
  • active labor, yakni ketika kontraksi mulai terasa bermakna.. cailah.. dengan kata lain: sakitnya mulai nggak nahan, bo! ya inilah dia yang lagi saya ceritain di paragraf ini.. inilah saat-saat ketika biasanya seorang calon ibu dibolehkan masuk ruang bersalin dan mulai menghadapi dilema antara minta obat pengurang nyeri atau tidak 😛
  • transition, yakni ketika sakitnya kontraksi udah super uhuyyy.. masa yang didefinisikan oleh The Bump (saya suka banget aplikasinya, instal deh di HP) sebagai time when some moms-to-be feel like giving up 😀

Lanjut ke cerita saya ya..

Karena panik dengan pecahnya air ketuban yang sebenarnya sedikit tapi takut keluar lebih banyak lagi, saya paksa diri ke kamar mandi untuk pipis lalu ganti baju buat ke rumah sakit. Suami pun bergerak cepat mengambil tas kecilnya (baca: tas pinggang) memasukkan HP dan printilannya (charger, dkk.), kemudian meninggalkan saya ke parkiran. Doi bilang akan bawa mobilnya masuk ke depan rumah alias masuk halaman perumahan yang aslinya nggak boleh dimasukin mobil.. ah darurat ini! Akan tetapi.. saya nggak tahan nunggu doi dan dengan susah payah jalan ke parkiran. Eh, si suami yang nggak lihat saya udah terlanjur hantam-hantam itu halaman rumah. Huaaa, heboh pokoknya!

Singkat cerita, di dalam mobil saya nggak bisa duduk manis, tapi meronta-ronta kesakitan mirip kaya bumil yang di film Janji Joni. Sabuk pengaman? lupakan! Tepat di dua belokan terakhir menuju jalan rumah sakit tiba-tiba keluar rasa pengen ngejan. Ughhh benar-benar kuat dorongannya seperti kalo kita kebelet pup parah gitu cuma kerasanya lebih di bagian ‘depan’, bukan di lubang-yang-biasanya itu.. 🙄

Ten centimeters dilated!

Setibanya di rumah sakit, seperti arahan ketika birth center tour, suami menyerahkan kunci mobil ke jasa vallet dan segera mengantar saya masuk dengan kursi roda bersama seorang staf RS yang sedang siaga. Kali ini saya nggak pakai mampir ke meja resepsionis kayanya.. entahlah, mungkin suami yang urus, tapi yang jelas sayanya langsung dilarikan ke ruang triage. Di ruang triage, banyak sekali nurse dan midwife berdatangan, semuanya wanita, sekitar lima atau enam orang mungkin. Dengan kondisi sakit luar biasa dan tak bisa berkata-kata lagi selain hee-e-e-e-e-e (bergetar, persis kaya moaning di video-video lahiran) dan membatin doa serta dzikir (istighfar aja nggak sanggup dilafalkan).

Selain nggak bisa ngomong, saya juga udah nggak nangkep pembicaraan para staf medis di sekitar saya. Saya hanya melihat ekspresi kaget si mbak yang meriksa bukaan saya. Setelah dia berpandangan dengan temannya, si temannya itu bilang “You’re gonna have a baby!”, lalu yang terjadi kemudian adalah kasur saya didorong beramai-ramai oleh mereka keluar dari ruangan triage ituOh, rupanya dibawa ke kamar bersalin yang isinya nggak jauh beda dengan ruang triage. Di sana, datanglah seorang dokter OB yang sebelumnya pernah meninjau hasil ultrasound saya juga. Setelah dia datang dan bersarung tangan, dimulailah instruksi itu: “PUSH! PUSH! Push with your contraction!”

Behind the scene: Belakangan suami cerita kalo si suster yang meriksa bukaan saya itu bilang “Ten!” tapi suami nggak langsung ngeh maksudnya apa. Ternyata maksudnya adalah ten centimeters alias bukaan 10. Jadi, saya datang ke rumah sakit itu dalam kondisi bukaan sudah penuh. Allahu akbar!

Sampai sekarang, saya ingat betul detik-detik mengejan itu. Bu dokter yang berada di garda terdepan kru adalah yang memberi saya instruksi utama dengan mengulang kata-kata ini: “Push! Push! Push to my fingers!” (Dorong! Dorong! Dorong ke arah jari saya). Jarinya memang sepertinya diletakkan di ujung-lubang-itu. Disebelahnya ada seorang mbak suster yang siap-siap bantu menangkap bayi.

Satu, dua, hingga empat kali mengejan kecil yang saya lakukan seiring dengan dorongan alami dari tubuh, belum berhasil membawa perkembangan. Saya lalu minta mencoba gaya lain, yaitu dengan jongkok. Di ujung kasur bersalin sudah tersedia pegangan untuk gaya itu. Namun, akhirnya saya kembali ke gaya setengah berbaring karena kaki rasanya nggak kuat nahan badan yang segede gajah. Setelah coba mengejan lagi, entah kenapa muka saya dipasangi alat bantu pernapasan seperti yang di pesawat-pesawat itu, padahal sih saya merasa biasa aja nggak sampai kehabisan tenaga, tapi memang kata suami muka saya udah merah banget. Habis dipasangi itu, saya mengejan lagi dengan kuat, lalu kata-kata suami saat itu betul-betul membangkitkan semangat saya, “Ayo, dikit lagi. Aku udah bisa lihat kepalanya!”. Saya pun kembali mengejan sekuat tenaga, mengejan yang paling lama, kemudian saya tidak merasakan apa-apa lagi, tapi saya kaget karena bayinya udah keluar. Beneran nggak kerasa pas mbrojol! Kata suami, Musa keluarnya memang seolah-olah langsung sebadannya gitu setelah kepala nongol. Mungkin karena kecil kali, ya. Masha Allah.. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Bayi berdarah-darah itu menangis kencang sekali, lalu diberikan ke saya. Sampai hari ini, ketika dia menangis serius, ekspresinya masih sama persis seperti detik-detik itu. Mangapnya, matanya yang ketutup, gusi-gusinya yang tampak jelas, merahnya, bulatnya.. sering saya bilang ke dia, “Musa kok nangisnya kaya bayi baru lahir, sih!” Hihihi.. Hal besar yang saya syukuri dari perjalanan Musa ke dunia ini adalah saya dikasih persalinan yang cepat dan sesuai ekspektasi yang saya tulis di birth plan. Masuk RS sekitar 1.45 pagi, mulai mengejan kurang lebih 15 menit kemudian, lalu setengah jam selanjutnya sang bayi sudah lahir. Prosesnya juga seperti yang saya bayangkan, tanpa bantuan obat-obatan terutama epidural, morfin, dan IVF, tanpa episiotomi, serta privasinya terjaga dan hanya staf wanita yang menangani saya sampai kami dipindahkan ke ruang postpartum (kamar setelah melahirkan yang lebih luas dan nyaman untuk beristirahat sekeluarga). Kalo dipikir-pikir, super tidak menyangka bisa sedemikian rupa mengingat ikhtiar saya dalam mempersiapkan fisik dan mental sangat pas-pasan. Staf-staf medis yang membantu persalinan saya sampai menyindir, “You should have come to hospital earlier” (Harusnya kamu datang lebih cepat ke RS). Konon, kalo anak pertama lahirnya cepat, anak-anak berikutnya juga akan cepat atau bahkan lebih cepat, jadi dipesan kalo hamil berikutnya harus lebih peka dan datang ke rumah sakit lebih awal. Wah, mau banget melahirkan lagi kalo semuanya bisa secepat Musa.. menderitanya juga sebentar aja 😀

What happened next? Postpartum story

Proses selanjutnya setelah bayi di dekapan saya dan disusui (baca: coba menyusu) apalagi kalo bukan ‘jahit-menjahit’. Kata orang, kalo bayi sudah keluar, sakit ketika dijahit tidak akan terasa. Saya bilang, nggak juga tuh! 😛 Masih sakit, tauk! dan saya merasa lama sekali dijahitnya. Kegagalan menjaga perineum agar tidak sobek adalah salah satu hal yang saya sesali (Belum nemu hal lain sih :P). Harusnya saya bisa nggak dijahit kalo lebih awal dan lebih rajin memijat, tapi saya kurang berjuang dan takut-takut, jadi baru mulai jalani strategi itu sebulan terakhir, itu pun tidak setiap hari. Teman saya yang baru melahirkan enam bulan sebelumnya berhasil dong melahirkan tanpa jahitan dengan tips yang sama.. hiks hiks.

Eh, lupa ding, sebelum dijahit ada dua proses penting lainnya, yaitu placenta delivery dan cutting umbilical cord. Proses pengeluaran plasenta hampir tidak terasa. Saya sempat melihat plasenta itu, seperti hati sapi yang besar tapi lebih pink dan bercorak warnanya. Di Amrik, prosesi pemotongan tali pusar biasanya ditawarkan untuk dilakukan oleh ayah sang bayi. Katanya sih bagus buat bonding, nggak tahu di mana hubungannya 😛 Alhamdulillah.. suami saya berani melakukannya. Prestasi kedua setelah prestasi berani melihat anaknya lahir diiringi darah yang buanyak sampai muncrat-muncrat, padahal aslinya doi penakut sama darah. Kata doi, saking banyaknya darah itu, dia jadi nggak takut lagi. Hahaha.. mana ada.

Setelah bayi selesai disusui pertama kalinya, kami dimintai izin untuk ‘dipinjam’ bayinya. Perlakuan medis yang diberikan kepada bayi antara lain:
– pemberian eye ointment (salep mata) untuk mencegah infeksi mata
– pemberian vitamin K untuk membantu pembekuan darah karena tubuh bayi belum sempurna membentuknya
– pemberian vaksin hepatitis B
– hearing screening (cek pendengaran)
– cek detak jantung setiap 30 menit sekali dalam 3-5 jam pertama
Sementara itu, sebagai ibu baru saya terus dipantau darah pasca melahirkannya. Setiap beberapa menit sekali ada nurse yang menekan-nekan perut saya untuk memastikan darah bekas lepasnya plasenta keluar dengan baik dan secara wajar. Masa-masa ini biasanya menegangkan juga karena banyak kasus kematian ibu melahirkan berhubungan dengan darah, termasuk darah berlebihan yang keluar pasca persalinan. Hingga satu hari setelahnya saya masih harus berjibaku dengan sakit kontraksi seiring kembalinya rahim ke bentuk semula.

Begitulah cerita saya.. mudah-mudahan bermanfaat. Pengalaman hamil dan melahirkan ini mengajarkan saya betapa kuatnya seorang wanita, betapa mulianya para ibu yang mengantarkan kehidupan baru, dan betapa harus bersyukur diberi kepercayaan mengemban amanah yang tak ringan itu. Sejak menyusui dimulai, maka sejak itulah saya merasakan beratnya amanah itu. Sungguh, terasa bahwa punya anak bukan main-main, hampir seluruh waktu kita terpakai untuk memikirkannya, sepanjang sisa usia kita.

Ya Allah.. semoga Engkau mudahkan kami untuk merawat dan mendidik anak kami. Semoga ia menjadi anak shalih yang pintar, sehat selalu, senantiasa membawa kebahagiaan dan manfaat bagi sekitarnya. Aamiin.

5 thoughts on “The Day when He Knocked The Door to The World

  1. Bella says:

    Bismillah.

    Teh Ega.. ikut berkaca2 dan tegang bacanya, sekaligus bersyukur pas tahu akhirnya.

    Barakallah atas kelahiran Musa, semoga jadi qurotta a’yun bagi kedua orangtuanya.

    Sekarang Musa apa kabar? Pasti lagi bobo ya? Hehe

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s