Judulnya sih bahasa bule, tapi isinya kali ini pakai Bahasa Indonesia kok. Haha…
Sabtu pertama di bulan Ramadan ini saya kebetulan baca tulisan anaknya bu Elly Risman, mbak Sarra Risman, tentang membawa anak ke masjid (baca di bawah), lalu di sore harinya kami berkesempatan merasakan langsung pengalaman itu dengan seorang balita yang baru genap berusia 13 bulan tiga hari sebelumnya dan sudah bisa jalan sejak 10 bulan (ini penting ditulis agar terbayang seberapa heboh gerakannya sekarang.. wkwk ). Berhubung kerepotannya sungguh tak disangka sebelumnya dan jadi kepikiran beberapa hal, saya putuskan perlu menuliskannya di sini demi memberi gambaran tentang “begini lho bawa anak (kecil) ke masjid itu” versi keluarga kecil #ea5512. Kami ajak Musa ke masjid dengan tidak bermaksud muluk-muluk semacam menanamkan kecintaan pada rumah Allah sejak dini sih, tapi karena memang tidak ada yang menjaganya di rumah. Haha… Ohya, pengalaman ini terjadi saat kami masih tinggal di Michigan, USA, dalam rangka suami menempuh S2.
Intermezzo dulu, ya…
Sejak memasuki bulan Ramadan, kami sudah niatkan untuk berbuka puasa di masjid setiap weekend dan memang rata-rata masjid hanya mengadakan community dinner atau fundraising dinner di hari-hari itu. Sedikit cerita, berbeda dengan community dinner yang umumnya gratis dan ditujukan untuk ramah-ramah aja, di fundraising dinner kita harus siap berdonasi sesuai kebutuhan penyelenggara atau sponsor. Bukan berarti kita bayar makanan bukanya, tapi dengan berbuka di situ kita dianjurkan menyumbang dengan nominal minimal yang sudah ditentukan, misalnya $25. Penyelenggara iftar adalah masjid, tapi tujuan donasi tidak selalu masjid, tapi bisa juga organisasi Muslim yang sedang butuh dana sehingga merekalah yang akan jadi sponsor hidangan iftar-nya. Fundraising hari itu seringya diadakan lagi setelah usai shalat berjamaah. Suasananya mirip kaya lelang. MC akan menyebut angka-angka seperti $100, $500, dst. untuk mencari donatur yang bersedia memenuhinya. Menarik, ya? Kami juga baru tahu penggalangan dana model begini di Amrik, tapi mereka niat banget mendorong orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan bukan hal aneh jika kita melihat ada jemaah yang angkat tangan unuk nilai $1000 (lebih dari 10 juta rupiah). MasyaAllah!
Kembali ke cerita tarawih bersama bocil..
Selama Ramadan sebagai ibu rempong dengan balita baru yang tak bisa diprediksi jam tidurnya, tidak berharap akan bisa tarawih berjamaah di masjid, apalagi jam tarawih tahun ini di Michigan sudah tidak sehat untuk anak-anak. Jam 12 malam kira-kira baru beres setengahnya, jadi bisa sahur sekalian tuh kalo ikut yang 23 rakaat . Namun, di keluarga kami dari sononya biasa jalanin yang 11 rakaat aja (8 rakaat tarawih + 3 rakaat witir). Di hari-hari kerja, sementara saya salat sendiri di rumah, Aisar masih bisa ikut sampai delapan rakaat tiap malamnya di masjid terdekat dari rumah yang jaraknya kurleb delapan menit naik mobil dengan syarat harus tidur dulu sepulang kantor sampai waktu berbuka puasa tiba, yaitu sekitar jam 7-9 malam. Hehe. Di pagi hari, setelah sahur, doi juga masih bisa ikutan jamaah Subuh di masjid, terus tidur lagi sampai mau berangkat ke kantor. Alhamdulillah.
Musa selama bulan Ramadan ini agak berubah jam tidurnya: tidur lebih malam dan bangun lebih siang. Dia biasanya belum tidur sampai menjelang waktu Isya (jam 11 malam) dan bangun sebentar saat sahur atau Subuh, lalu tidur lagi sampai setelah Aisar pergi ngantor (jam 9 pagi). Belakangan malah sering baru tidur pukul 12 malam , padahal mandinya sesaat setelah papanya berangkat ke masjid, jadi butuh waktu sejam buat ngelonin sampai bocahnya benar-benar merem. Nah lho, mana bisa saya ikutan ke masjid kalo kaya gitu polanya… pas jam jamaah dimulai si balita udah antara ada dan tiada kesadarannya. Wkwk.
[ Cerita tahun lalu… ]
Ketika tinggal di Ann Arbor, karena masjid dekat dan bisa ditempuh dengan jalan kaki, saya masih bisa sering ikutan buka puasa dan salat berjamaah Magrib di masjid dengan membawa Musa yang usianya baru sebulanan. Sekembalinya dari masjid biasanya doi baru tidur. Paling menantang itu kalo harus ngantri ambil makanan sambil gotong-gotong car seat berisi bayi 4-5 kg karena nggak ada kenalan yang bisa diserahi jaga Musa. Yang namanya ngantri kan kadang jalan kadang berhenti tuh.. jadi car seat yang bulky itu tampaknya agak menganggu pergerakan jemaah juga sih. Wkwkwk.. demiiii asupan gizi busui baru, dah… kan gratis, daripada masak repot-repot di rumah 😀
Kalo selama salat sih nggak masalah. Musa alhamdulillah betah mengamati orang salat sambil tiduran di car seat tanpa menangis asal perutnya udah dikenyangin dulu. Hehe…

Queue for Ramadan’s iftar dinner at Islamic Center of Ann Arbor. Antrian untuk ambil makanan berbuka puasa di masjid Ann Arbor. Mereka menyediakan makanan berat seperti ini setiap hari, hasil sumbangan para donatur (sukarela perorangan / kelompok). Komunitas Indonesia tahun lalu ikut berpartisipasi juga.

Sisters are gathering to eat iftar dinner. Beginilah suasana makan malam buka bersama di masjid setelah salat Magrib.

Taraweeh with my baby last year. Foto-foto Musa ikutan ke masjid Ramadan tahun lalu. Udah malam, tapi masih melek semua.. hehe.
[ Kembali ke cerita tahun ini… ]
Tahun ini, kami sudah pindah ke Farmington (45 menit dari Ann Arbor) dan bagi saya sangat sulit mengejar Magrib di masjid karena harus masak sendiri tiap hari dan masih ngurusin hidangan dinner setelah makanan pembuka. Musa juga suka minta makan lagi (atau memang ‘baru disuapi’) pas kami makan. Selain itu, karena kami sedang dalam masa transisi harus meninggalkan negeri paman sam, Aisar hampir tiap hari ada job interview di jam-jam menjelang atau setelah azan Magrib. Perubahannya lumayan drastis dari yang tahun sebelumnya bisa dibilang saya nggak masak selama Ramadan karena hidangan buka dan sahur sudah terjamin dari makanan iftar sediaan masjid saking banyaknya. Ehem, masjid di kota yang baru ini nggak nyediain makan gede a.k.a. dinner gratisan tiap hari . Alhasil, salat Magrib pun kami jamaah di rumah saja. Praktis, enam hari puasa pertama saya belum pernah ke masjid, padahal ada beberapa event untuk sisters juga yang terpaksa dilewatkan karena nggak ada yang antar / jemput. Karena itulah, adanya kesempatan ke masjid di akhir minggu seolah hadiah buat si mama rempong ini. Dari yang tadinya niat cuma mau sampai Magrib, akhirnya diubah jadi sampai tarawih. Are you sure, Mama? Yes, I am. Pede banget bisa karena nebak palingan Musa udah tidur jam-jam segitu dan terlebih masjid tujuan kami ternyata ada layanan free childcare selama tarawih. Okelah, boleh juga nih dicoba..
Singkat cerita, sudah empat kali saya membawa Musa salat berjamaah di masjid hingga tarawih. Semuanya terjadi saat weekend. Begini kira-kira gambarannya. Kalo ada lagi mungkin saya akan tambah ceritanya (kalo sempet 😛 ), tapi berhubung saya berhalangan untuk salat di minggu terakhir Ramadan ini, kemungkinan besar tidak salat di masjid lagi.
[ Tarawih pertama: Sabtu, 11 Juni 2016 di Michigan Islamic Academy, Ann Arbor a.k.a. Islamic Center of Ann Arbor ]
Misi pertama ini diawali dengan acara sisters yang saya ikuti, temanya menghias kukis Lebaran. Nah, sebagai emak, yang langsung kepikiran adalah akan dikemanakan Musa selama 90 menit workshop itu. Tanya mbak Ugi, teman Indonesia yang tinggal dekat masjid, ternyata dia ikutan juga dan Irga, anaknya (terpaut 1/2 tahun dari Musa) dititipkan ke suaminya. Wah, pas banget Musa ada temennya! Aisar untungnya menyanggupi jagain Musa. Baru di perjalanan menuju ke sana, saya baca lagi publikasinya, eh ternyata ada babysitting berbayar $2. Yasudahlah, sekalian melatih suami (uhuk..). Qadarallah, Musa masih tidur ketika saya sampai di lokasi jadi tak mungkin juga dititipkan di babysitting. Meluncurlah Aisar dan Musa yang tertidur di mobil ke supermarket. Iya, doi nawarin belanja bahan yang saya butuhkan saat itu karena nggak ada waktu lagi setelah salat. Setelah itu rencananya baru ke rumah mbak Ugi agar Musa dan Irga bisa main bareng. Sebelum berpisah, saya pesan agar begitu Musa bangun segera dikasih makan malamnya (sudah saya siapkan di lunchbox) dan dibelikan susu kemasan.
Usai acara, ealaaah.. namanya bapak-bapak. Kagak bisa multitasking. Selama saya belajar hias-hias kukis itu, Aisar ended up hanya menghabiskan waktu berbelanja di supermarket dan kotak makannya Musa belum tersentuh sama sekali. Belakangan saya baru tahu kalo Musa udah dikasih susu coklat. Pantesan heran kok nih anak anteng nggak merengek minta ASI saat ketemu mamanya . Jeda setengah jam sebelum azan Magrib kemudian saya pakai untuk nyuapin Musa sambil cari info tentang penitipan anak selama tarawih. Masih nggak yakin kalo beneran ada karena tahun lalu saya bener-bener blank soal ini, entah emang nggak ada atau sayanya yang nggak tahu.
Tak lama kemudian makanan takjil dibagikan kepada para jemaah. Lumayan lah nggak perlu ngantri. Waktu makan yang pendek sebelum salat Magrib berjamaah dilaksanakan itu masih harus dibarengi dengan ngejar Musa ke sana kemari. Kami bertemu teman lama, turunan Thailand yang menetap di Saudi dan punya anak terpaut tiga bulan dari Musa, namanya Maryam. Di situlah saya bercakap dengan ibunya Maryam dan ternyata dia juga mau nitipin anaknya. Di penitipan anak nantinya Musa barengan terus sama Maryam ini. Maryam juga baru pulang setelah salat tarawih. Bedanya, Maryam ini anaknya anteng banget, bagai barat dan timur dengan Musa.
Selepas Magrib, makanan saya dari mulai takjil sampai dessert nggak ada yang habis karena sibuk sama bocah yang tangannya nggak bisa diam selama antri makanan dan nyomotin roti di piring orang lain, makan jajan dan dilepehin ke karpet masjid, ngotot mau makan sendiri, nggak bisa duduk manis selama makan, mau minum jus jeruk terus-terusan, dan kalap makan semangka sampai bajunya basah semua . Akhirnya, saya panggil suami buat naruh sisa makanan ke dalam mobil dulu biar aman dari jamahan bocah. Musa yang sudah terlihat ngantuk pun saya susui, ganti baju, dan diaper-nya biar pas di babysitting nanti aman sejahtera.
Tahunya apa yang terjadi? Saat saya menyusui, datanglah pasukan vacuum cleaner membersihkan ruangan salat (yang juga dipakai untuk makan sebelumnya). Jeng.. jeng.. Musa yang udah kriyip-kriyip matanya langsung melek, berdiri, dan lari-lari ngejar si vacuum cleaner. Oh, God.. ni anak emang demen banget sama vacuum. Di rumah, saya suka rebutan kalo lagi bersihin rumah karena Musa suka ngotot mau pegang. Kalo nggak dikasih ya teriak-teriak.. bagusnya, jadi ada cleaning service bantuin mama di rumah #menghiburdiri.
Begitulah, usai drama kejar daku kau kutangkap berlangsung.. azan Isya berkumandang menyisakan usaha menidurkan balita yang gagal total. Saya bawa Musa ke ruangan babysitting dan menunggunya bermain sejenak. Rupanya, dia nggak peduli saya tinggalin sama sekali. Tetap asyik main sama bocah lain. Meski cukup tenang karena ada tiga ibu-ibu yang berjaga dan sudah paruh baya usianya (pertanda udah berpengalaman banyak ngurus anak), tetap saya nggak tega dan sedikit cemas gimana kalo Musa nakalin atau dinakalin anak lain. Itulah pertama kalinya saya titipkan Musa ke pihak asing…
Saya cukup terpukau dengan fenomena salat Isya berjamaah di masjid ini kali ini. Selama salat, suasana heniiing sekali. Tidak ada suara tangis bayi, tidak ada suara anak-anak ngobrol atau bercanda, tidak ada suara derap kaki anak yang lari atau jalan, apalagi suara gedebukan. Tumben! Baru kali ini saya temui masjid yang sebenarnya lagi ramai-ramainya bisa terpelihara ketenangannya. Salut untuk panitia yang berupaya mengadakan kegiatan untuk anak-anak. Selain babysitting untuk usia 0-2 tahun, mereka juga membuka kelas art and craft untuk anak-anak yang lebih besar.
Kelar salat Isya, saya cek Musa, doi masih asyik main. Syukurlah.. sepertinya Musa belum butuh saya, jadi saya kembali ke tempat salat. Sempat laporan ke suami via WA dengan mengirim foto ini.

Sneak peeking Musa in babysitting room during salatul taraweeh. It was my first time to trust a childcare for watching him. Suasana ruang penitipan anak di masjid Ann Arbor. Cukup kondusif dengan pemisahan anak-anak yang lebih besar di ruangan lain (yang tampak di foto hanya berkunjung saja). Musa (baju putih hitam) tampak sedang menyimak atraksi babysitter-nya.
Selesai empat rakaat tarawih, saya balik lagi ke tempat penitipan anak. Di pintunya, ternyata Musa sedang digendong seorang ibu penjaga. “He wants to sleep I think,” katanya sambil menyerahkan Musa ke saya. Lucu banget muka ngantuknya saat itu.. ekspresi baru yang tak bisa saya lupakan hingga saat ini. Di gendongan saya, Musa diam aja masih tampang ngantuk gitu, tapi beberapa menit kemudian.. Huaaaaaaaa huaaaaaa. Nangis kenceng! Hasil memendam perasaan sekian lama kayanya. Wakakak :))
Saya coba tidurkan Musa di tengah situasi yang tidak kondusif (baca: sangat berisik). Niatnya saya mau lanjut salat tarawih sampai 8 rakaat baru pulang, tapi jamaah belum dilanjutkan lagi karena ada fundraising speech. Ternyata kali ini lama banget nyawer-nya.. udah 20 menit nggak kelar-kelar. Sementara Musa udah pulas dan tak ada tempat aman untuk nidurin. Dengan volume speaker yang segitu kerasnya, takut juga mengganggu tidurnya. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk lanjut salat tarawih di rumah saja mengingat sudah jam 12 malam juga (baru dapat empat rakaat tarawih). Ditambah perjalanan Ann Arbor – Farmington, baru sampai keesokan harinya di rumah 😛
Walaupun misi tarawih tidak tunai, setidaknya dari pengalaman pertama ini kami jadi pede untuk bawa Musa lagi ke tarawih berikutnya. Ohya, selama salat Magrib kan Musa belum dititipkan. Nah, itu juga rada challenging karena Musa tertarik sama barang-barang orang yang ditaruh di depan tempat sujud. Haha.. untung kalem dan nggak lari-larian anaknya.
[ Tarawih kedua: Sabtu, 18 Juni 2016 di Tawheed Center, Farmington ]
Kali ini kami ikut salat tarawih seusai acara buka bersama yang tidak gratis (pake tiket :P) atau istilah kerennya fundraising dinner Setiap tamu sudah disediakan tempat duduk sesuai namanya di meja-meja bulat gitu, lokasinya di hall, dan kami bisa bawa baby stroller (di masjid Ann Arbor kan makannya di ruang salat), jadi bayangannya tak ada masalah berarti dalam hal menjaga si balita aktif selama berbuka, toh tinggal diikat :D. Musa nggak betahan sih duduk di stroller, tapi asalkan doi dikasih makanan, harusnya tenang deh. Karena hadirin kali ini lebih terbatas juga, kondisi masjid tidak terlalu crowded sehingga ruang untuk bergerak jauh lebih leluasa. Memang dasarnya ruangan salat wanitanya juga lebih luas daripada masjid di Ann Arbor. Hehe.. Seperti di masjid sebelumnya, layanan penitipan anak di masjid ini juga hanya ada ketika salat Isya dan tarawih. Selama salat Magrib, Musa sama saya, tapi anaknya tampak lagi bete karena dikekang di stroller selama buka dan ogah jalan-jalan, jadi doi duduk manis aja di depan mama salat. Alhamdulillah, sesuatu 🙂
Habis salat Magrib, kami kembali ke hall untuk makan besar (sebelumnya cuma takjil aja). Disinilah drama dimulai. Musa nggak mau ditaruh di stroller lagi. Dipegangin juga meronta-ronta mau lepas. Sayangnya, nggak ada makanan yang bisa doi makan karena pedes semua! Awalnya Musa saya kasih makanan-makanan yang sepertinya tidak pedas, tapi dilepehin semua. Saya yang nggak nyangka menunya bakal kaya gitu jadi mati gaya deh. Duh, kepedean nggak bawain dinner.. berhubung hari sebelumnya juga makan di masjid ini dan banyak makanan enak yang bisa doi makan, hari ini jadinya Musa nggak dibawain makan. Eh, ternyata buah aja nggak ada.. padahal itu biasanya jadi senjata pamungkas kalo doi nggak bisa makan apa-apa :(( Akhirnya Musa cuma makan pita bread, tomat dari salad, dan pakore (semacam bakwan a la Pakistan). Ada bread pudding dan gorengan yang manis, tapi doi nggak terlalu suka. Untung dah masih mau makan… habis itu minum susu sapi. Beneran failed banget, padahal saya biasanya bawain cemilan banyak.
Tibalah saatnya menjelang salat Isya.. sekitar seperempat jam sebelum azan, saya kondisikan Musa. Langkah pertama tentu saja menidurkannya terlebih dahulu. Musa, sampai detik ini, seringnya masih bobo pakai nenen dulu. Udah dikeluarin jurus ini, ternyata cuma minum dikit, terus kabur. Lari-lari di ruangan salat. Belum menguap, belum rewel, belum lemas.. pokoknya belum ada tanda-tanda doi ngantuk. Baiklah, langkah kedua dijalankan.. dibawalah ia ke ruang penitipan anak. Saya terkejut! Di sana nggak ada anak sekecil dia. Semua anak di situ usia balita ke atas, mayoritas SD, dan mereka lagi main bola. Haha.. yang boneng, lu? Saya tanya ke ibu penjaga, dia bilang nanti semua dipindah ke ruangan satunya (yang saat itu sedang dipakai anak-anak cewek mewarnai), artinya hanya ada satu ruangan penitipan anak untuk segala usia. Nyali saya langsung ciut. Mana bisa Musa saya biarkan di antara anak-anak yang udah garang-garang itu.. pasti jadi kalahan. Lebih sedih lagi, mainan yang tersedia hanya ada sedikit dan baterainya habis semua, nggak ada yang jalan. Lego nggak sampai sepuluh biji, sisanya krayon-krayon berserakan. Wkwkwk..
Akan tetapi, Musa adalah anak pemberani (cieeeh..), doi langsung berbaur dengan anak-anak cowok yang lagi main bola. Rebutan bola. Aduuuh, ngeri saya lihatnya kalo kepalanya kena. Sepuluh menit berlalu, doi masih asyik mainan lempar tangkap bola. Sempat saya bawa masuk saat salat sunnah, tapi Musa malah berulah. Gangguin orang baca mushaf dan ngerecokin bayinya orang lain. Ya sudahlah, akhirnya saya titipkan juga anak tersayang ke mbak penjaga (cuma satu orang VS 20-an anak!) dengan pesan khusus, “Please watch him because he’s the youngest one”. Si mbak pun menyanggupi dengan mantap.

Babysitting room in Tawheed Center. Anak segala usia dikumpulin jadi satu.
Selepas salat Isya, saya cek Musa dari jendela kaca yang memisahkan area salat dan ruang penitipan anak. Ternyata tampangnya kaya habis nangis dan lagi digendong. Waduh, ada apa nih.. perasaan udah nggak enak, tapi kata mbak yang bertugas, “Nothing happened, he just cried”. Hahaha.. mungkin bingung cari mamanya tiba-tiba nggak ada. Ditambah kecemasan akan keselematannya berada di antara anak-anak besar yang kadang tidak mawas diri itu, saya memutuskan untuk menarik Musa dari babysitting dan membawanya ke tempat salat.
Saya ambil shaf terakhir biar Musa bisa bermain di belakang barisan jemaah yang memang masih luas (sekitar 60% luas ruangan masih kosong). Dua rakaat pertama tarawih saya cukup khusyuk dan nggak kepikiran apa aja yang Musa lakukan karena doi juga nggak datang ke saya sama sekali, eh tahunya saat tahiyat akhir terdengarlah tangisannya. Sepertinya dia kebingungan cari saya ada di mana. Wkwk.. Sejak saat itu sampai tarawih selesai, saya cegah ia pergi terlalu jauh, kalo mau kabur saya tarik dan saya gendong kalo udah rusuh polahnya seperti misalnya mainan HP orang sebelah. Capek juga, yah.. tapi lama-lama sepertinya doi mulai menghafal posisi saya, meski menghilang sesekali selalu bisa balik lalu gelendotan (is this a word?) ke mamanya. Tiap jeda dua rakaat saya offer botol susunya, eh nggak ngantuk-ngantuk juga nih bocah.
Yang agak menarik adalah suatu ketika Musa iseng megang-megang kerudung orang di sebelah kanan saya. You know what? Si orang itu membalas dengan nyolek-nyolek tangan Musa sambil tangan satunya masih bersedekap. Cukup lama mereka ‘berinteraksi’, Musa-nya kegirangan diajak becanda, hingga buyarlah konsentrasi saya . Begitulah dilema bawa bocah saat salat. Tingkat kekhusyukan jadi seadanya. Boro-boro di masjid, di rumah aja nggak jarang terganggu. Hua.. hua.. hua.. semoga Allah memaklumi dan menerima ibadah emak-emak rempong ini. Aamiin.
[ Tarawih ketiga: Ahad, 19 Juni 2016 di masjid Ann Arbor lagi ]
Kunjungan kedua di masjid ini saya tak berharap banyak dengan babysitting lagi dari awal karena Musa udah ngantuk sebelum tiba. Kami baru usai menghadiri buka puasa bareng dengan sesama Indonesian dan telat datang jadi ketinggalan jamaah salat Isya. Nggak ada waktu lagi buat berkompromi dengan Musa agar mau ditinggalkan di ruang penitipan anak. Belajar dari dua pengalaman sebelumnya yang doi selalu nangis di tengah show, saya lebih tenang menjaganya sendiri, terlebih hari ini entah kenapa saat kami datang udah banyak banget anak-anak di ruangan salat. Beda sekali dengan suasana tarawih pertama.
Di shaf belakang saya ada bayi besar (tampak seumuran atau lebih tua dari Musa) didudukkan di baby bouncer yang sejak salat Isya menangis kencang disertai teriakan-teriakan. Baru sebentar Musa duduk tenang di depan saya, doi lalu ngeluyur pergi ke belakang. Setelah itu, eng.. ing.. eng.. tiba-tiba suara tangisan maut tadi berhenti total. Begitu salam saya langsung nengok cari Musa. Rupanya doi sedang “berbicara” dengan bayi yang menangis tadi. Mungkin maksudnya sedang menenangkan ‘temannya’ agar berhenti nangis. LOL. Lucu banget.. Good job, buddy!

Sister’s Prayer Room in Islamic Center of Ann Arbor. Beginilah potret Musa (berpeci putih) kalo sedang ikut tarawih mamanya dan nggak ditaruh penitipan anak.
Selama tarawih, tiap jeda dua rakaat saya pindah tempat karena banyak jemaah yang cabut sekalian nyari tempat pewe buat nidurin Musa. Tempat pewe itu kira-kira pojokan depan yang dekat para jemaah berkursi lah. Hehe :mrgreen:. Yes, kapan pun ada kesempatan saya selalu usahakan Musa tertidur walaupun gagal lagi dan gagal lagi. Musa sebetulnya bisa tidur di tengah keramaian, tapi untuk memulai tidurnya, dia butuh suasana sunyi. Suara speaker masjid yang membahana dan hiruk-pikuk suara anak-anak di masjid tentu nggak lulus sensor. Heran juga itu anak-anak berbagai usia masih pada energik main ke sana kemari di tengah malam. Musa yang dasarnya anak extrovert, meski nggak punya mainan (Mama lupa bawain.. haha), tetap bisa happy ngelihatin atau minjem mainan anak lain. Semua dikiterin satu per satu sama doi, bahkan nggak cuma anak-anak aja yang jadi sasaran, mbak-mbak muda unyu-unyu early 20-ish pun digodain… dan mereka malah kesenengen balik ngegemesin Musa, make-makein pecinya. Ck.. ck.. ck..
Musa yang tiba di masjid dalam kondisi ngantuk akhirnya baru berhasil tidur ketika di perjalanan pulang. Dia tidur tanpa drama, langsung blek sek kalo orang Jawa bilang. Memang sebelum pulang sengaja saya kenyangkan dulu perutnya. Combo nenen dan ngabisin susu botol (susu sapi segar yang dibotolin). Rekor banget tidurnya, diangkat-angkat, dipindahin ke kasur, sampai bangun di pagi hari nggak kebangun dan masih pakai baju ganteng. Alhamdulillah..
[ Tarawih keempat: Sabtu, 25 Juni 2016 di Tawheed Center / masjid dekat rumah lagi ]
Kembali berkaca pada pengalaman sebelumnya di masjid ini, saya tak berharap besar untuk menitipkan Musa di babysitting room lagi. Kali ini saya inisiatif bawa baterai biar mainan-mainan yang hanya sedikit dan pada nggak jalan itu bisa agak bermanfaat. Maksud hati begitu eh.. tahunya lupa nggak bawa obeng buat buka wadah baterainya -_-”
Ruang penitipan anak sangat sesak hari ini gara-gara banyak ibu-ibu yang ikutan nongkrong. Saya pikir awalnya mereka hanya menunggu anak-anaknya sementara sampai waktu salat tiba, ternyata mereka salat didalamnya. Waduh.. benar saja, tak lama setelah jeda Isya ada panitia yang mengingatkan agar ruangan tersebut hanya dipakai anak-anak bermain saja. Yaaah… padahal tertarik juga tuh salat di situ. Haha :))
Anehnya, Musa sama sekali nggak bisa ditinggal kali ini. Sudah dua kali saya coba tinggalkan di ruang penitipan anak itu, tapi baru dapat satu rakaat (masing-masing salat Isya dan tarawih), selalu saya didatangi petugas yang gendong Musa lagi nangis kenceng yang kata mereka tanpa sebab. Sepertinya sih karena doi udah ngantuk berat, jadi mood-nya kurang oke. Lihat emaknya nggak kelihatan, tambah sedih deh. Terpaksa sepanjang tarawih saya bawa doi, dengan berat hati nggak ikut-ikutan ibu-ibu yang masih aja salat di babysitting room itu.
Sebenarnya dengan habisnya energi dan buruknya mood, si balita cukup tenang selama salat, paling cuma jalan-jalan santai aja di depan orang salat, nggak pakai lari-larian, teriak-teriak, atau ngisengin orang. Sempat pas lagi ngeluyur Musa diajakin becanda sama para akhwat muda lagi (uhuk..), diajakin salaman sama mereka, dan doi membalasnya. Ditepukin deh. Akan tetapi, di akhir-akhir tarawih, kejadian lagi tuh yang doi kaya anak ilang.. nangis-nangis bingung cari mamanya. Heuuu… untung udah mau beres delapan rakaat itu. Serba salah jadinya pas ibu sepuh sebelah saya negur, “Sister, that’s room for mommy and baby, you can pray there,” terus saya bilang ke si ibu, “Yes, I know, but it’s not supposed to use for salah and my baby doesn’t want to be left there,”. Pengen rasanya saya protes ke ibu-ibu yang tetap stubborn salat di dalam ruang penitipan anak itu karena ‘ulah’ merekalah yang membuat jemaah lain berpikiran itu ruang buat salat bagi ibu yang bawa anak kecil, padahal sebenarnya kan nggak kaya gitu :|.
Seperti tarawih kedua dan ketiga, tarawih kali ini juga berakhir dengan Musa baru tertidur setelah sampai di rumah. Kuat juga nih anak melek sampai malam.. bangunnya sih bareng emaknya, jam 9 pagi. Hehehe. Saya kalo abis tarawih di masjid biasanya nggak tidur sampai sahur karena nanggung, jadi baru bayar hutang tidur setelah Subuh.
[ Tarawih kelima: Ahad, 26 Juni 2016 di The Muslim Unity Center, West Bloomfield ]
Sudah lama saya pengen ke masjidnya kalangan borjuis ini. Dipandang begitu karena profil muslim di sekitar masjid yang konon dibangun bangsa Syria ini adalah para profesonal sukses seperti dokter, dosen, direktur perusahaan, dan sebagainya. Mereka juga pernah mengumpulkan dana sumbangan yang sangat besar jumlahnya untuk bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 silam.

Children room in The Muslim Unity Center. Ibu-ibu dan anak-anak di dalam satu ruangan yang nyaman untuk salat.
Dibandingkan dua masjid sebelumnya, saya menilai masjid ini tempat paling ideal untuk salat dengan anak kecil. Selain ketersediaan changing station (tempat ganti popok, sebenarnya ini standar ada di tempat-tempat publik, tapi ironisnya di dua masjid sebelumnya tidak ada) dan bahkan kamar mandi, mereka punya children room yang terbuka untuk ibu dan anak kecil, atau anak-anak yang agak gedean usia remaja, dan bisa digunakan untuk salat. Seluruh ruangan dipasang karpet yang sama persis seperti ruangan salat utama. Ruangannya berada di dalam ruang salat (tidak terpisah jauh seperti masjid di Ann Arbor atau berada di belakang ruang salat seperti masjid Tawheed Center) bahkan shaf-nya masih terhubung dengan jemaah di luar ruang anak tersebut. Anak-anak kecil dijaga sendiri oleh ibu masing-masing, tidak ada penjaga khusus yang bertugas, tidak ada mainan yang disediakan oleh masjid, tapi para ibu tetap bisa salat dengan dan nyaman karena nggak kepikiran nasib anaknya. Menurut saya, ini win-win solution bagi ibu dan anak tanpa mengorbankan jemaah lain. Mengorbankan si ibu yang salat sih mungkin masih ya.. secara anak-anak kecil itu seringnya nggak bisa duduk anteng terus.. jadi salat ya sambil dengerin (baca: kedengaran, nggak niat denger :D) bocah gedebukan dan jerat-jerit. Hahaha.
Well, semua ada plus minus-nya..
Bagi saya, salat di rumah dalam kondisi anak sudah tertidur pun bukan jaminan bisa sempurna tanpa gangguan. Seringkali saya baru bisa salat setelah tertidur akibat menidurkan anak dan terbangun pukul 1 dini hari dengan mata berat. Godaan ngantuk, susah konsentrasi, capek, dan kadang anak kebangun nangis adalah makanan sehari-hari :((
Balik lagi ke masjid Unity Center..

Sisters Area of The Muslim Unity Center. Suka banget sama desain ruangnya masjid ini. Cocok dan anti ribet karena semua ruangan ngumpul!
Yang sangat disayangkan, gangguan juga datang dari cewek-cewek remaja yang bukannya ikut salat berjamaah malah main-main di dalam children room. Jujur, dulu saya dan teman-teman cewek kalo lagi tarawih di masjid juga nggak selalu penuh ikutnya, sesekali istirahat dan mojok di belakang sambil ngobrol sana-sini, apalagi kalo pas lagi kultum. Dengan volume bisik-bisik tentunya 😀 Dipikir-pikir sekarang heran juga ya, kok nggak ada yang ngingetin, padahal berbicara saat imam khutbah itu sangat terlarang. Namun, para gadis Arab ini… yang kemungkinan besar lahir dan tumbuh di Amrik, sama sekali nggak ikutan salat tarawih dan bukan hanya ngobrol sambil main kepang-kepangan rambut, melainkan juga nyetelin aplikasi di gadgets lengkap dengan musiknya. Astaghfirullah, geregetan jadinya geregetan.. apa yang harus kulakukan..*malah nyanyi*
Overall, kalo disuruh milih, saya lebih suka model ruang anak kaya di masjid ini sehingga anak tetap bisa diawasi oleh orang tuanya sendiri tanpa mengganggu jemaah lain dan memungkinkan ibu untuk ikut salat jamaah juga. Namanya anak kecil kan meskipun berani main sama anak-anak lain, tetap ada masa teringat ibunya, atau di satu titik tiba-tiba merasa asing. Jadi tak bisa dijamin urusan jaga anak beres kalo ada layanan penitipan anak. Lha anaknya sendiri mau, nggak? Kan kasihan juga kalo dipaksa. Hehehe..
Tarawih kali ini pun berakhir dengan bahagia 🙂 Musa yang udah nguap-nguap sejak sampai di masjid pun bisa bertahan menunggu hingga salat selesai sekitar pukul 12.10 AM. Malem banget, yak? Itu belum termasuk setengah jam perjalanan pulang ke rumah, makanya di mobil meledaklah tangisan ngantuknya 😛
Perlunya Ada Tempat Penitipan Anak di Masjid
Dari pengalaman-pengalaman di atas, saya jadi membayangkan andai saja di Indonesia tiap masjid juga memperhatikan kebutuhan ibu dan anak, terutama anak usia bayi/balita, dengan menyediakan layanan penitipan anak misalnya. Paling tidak di masjid-masjid besar yang biasanya punya ruangan ekstra untuk kegiatan selain ibadah. Di negeri kita saya yakin sumber daya manusianya lebih banyak, tidak seperti di sini yang relawan baby sitters-nya gonta-ganti sesuai ketersediaan personil. Kalo pun tidak tersedia panitia yang mampu diamanahi memegang ruang anak, bisa dibuat seperti ruang anak di masjid Unity Center di atas di mana tiap ortu bertanggung jawab sendiri terhadap anaknya, tapi tempat salatnya dipisahkan dan dibuat aman untuk anak berkeliaran.
Selain ketenangan, keamanan juga hal penting, lho.. Siapa yang mau mendapati anaknya terluka setelah salat akibat bermain sesuatu yang kita nggak tahu? Ini kejadian di masjid dekat rumah kami, di bagian ruang salat laki-laki. Saat salat berjamaah dilaksanakan, terdengar suara anak menangis, kemudian seusai salam sang imam segera mengumumkan, “Please somebody call 911!” (911 adalah nomor telepon darurat). Sontak semua orang terkejut dan bergerombol, mencari tahu ada apa. Sumbernya dari arah anak menangis tadi. Kami yang berada di ruang salat wanita hanya bisa memantaunya dari layar monitor. Dari suami akhirnya saya tahu bahwa ia melihat ada anak berusia kira-kira tiga tahun yang dari kepalanya mengucur darah entah karena terjatuh atau terkena benda tajam. Ia pun enggan kepo karena salat berjamaah segera dilanjutkan ketika itu. Memang ruang penitipan anak hanya ada di belakang ruang salat wanita. Bapak-bapak itu juga mungkin tidak menyangka kalo insiden seperti itu bisa saja terjadi, apalagi (maaf ya) bukankah pria pada dasarnya cenderung lebih slebor daripada wanita kalo urusan jaga anak? 😀
Perlunya Ada Tempat Bersuci yang Baby Friendly
Urusan kebersihan juga penting untuk anak kita dan lebih penting lagi diri kita tetap suci walaupun harus diselingi dengan ganti popok anak, mipisin anak, nyebokin anak, dsb. sebelum atau di antara salat. Kalo sabun di ruang wudu atau toilet habis aja contohnya, nggak asyik, kan? Bisa saja kita sedia tisu basah (ini sih udah paket ya buat emak-emak bawa anak kecil), tapi alangkah baiknya kalo masjid juga memperhatikan hal-hal pokok seperti ini. Salat adalah ibadah yang tidak main-main dalam menuntut kesucian fisik.

Bathroom dengan changing station dan shower didalamnya (Lokasi: Masjid Unity Center)
Tempat ganti popok juga urgen tersedia mengingat masjid sudah seharusnya selalu dalam keadaan suci. Ini saya pun masih heran kenapa belum semua masjid di sini punya changing table, padahal itu adalah instalasi murah yang amat lazim di tempat-tempat publik di sini, bahkan warung makan kecil aja punya. Jika fasilitas ini tidak tersedia dan ruangan lain pun tak ada / tak dibuka, sang ibu kadang tak punya pilihan lain selain mengganti popok di ruangan salat dan itu menimbulkan perasaan yang nggak enak banget sekalipun udah pakai alas (changing mat), cuma gimana kita mau yakin kita nggak ngotorin lantai / karpetnya sama sekali? Gimana kalo bayinya yang udah nggak bisa diam selama ganti popok dan maunya gulung-gulung atau berdiri? Gimana pandangan orang-orang yang ke situ niatnya mau salat, tapi harus lihat pemandangan tak senonoh? Been there done them all. Seriously not a good thing to preserve..
Oke deh, sepertinya cukup dulu cerita soal perjuangan bawa bocah piyik ke masjid tahun ini.. mungkin tahun depan kisahnya lebih epic lagi karena si balita makin ‘kreatif’. Namun, selagi masih ada kesempatan, I’ll take those blessings, in sha Allah.
Rumah Allah adalah milik semua hamba-Nya tak peduli berapa pun usianya dan apa pun tujuannya. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang memakmurkan masjid. Aamiin.
Cerita keluarga mbak Sarra* dibuka dengan pernyataan bahwa dirinya belakangan suka ditanya gimana membuat anak cinta masjid, tapi mereka yang mau anaknya ikut ke masjid itu sayangnya langsung bawa anaknya untuk tarawih. “Nggak masuk akal,” katanya. Mengenai hal ini saya menanggapi dengan becanda dalam komentar berikut 😛
Can’t agree more, huh? Seperti yang saya singgung di atas, mungkin masjidnya dulu yang harus dibenahi agar menarik jemaah untuk datang dan fenomena ‘masjid sepi’ ini bisa perlahan atau cepat dihilangkan. Kalo masjid cuma dipakai salat berjamaah doang, yaaa susah meramaikannya. Masjid harus bisa menjadi pusat kegiatan umat Islam yang terkelola baik fisiknya maupun ruhnya. Meskipun kecintaan terhadap masjid itu perlu ditanamkan sejak kecil, kita tetap tak bisa memaksa orang yang sudah kadung tidak ada background dekat dengan masjid untuk rajin ke masjid, kecuali kita fasilitasi juga mereka dengan kegiatan yang ‘memaksa’ mereka memakmurkan masjid seperti potret islamic centers yang saya ceritakan di atas. Di Indonesia mungkin baru masjid-masjid besar saja yang aktivitas didalamnya selalu “hidup” sepanjang harinya.
Anyway, saya percaya sih tiap keluarga muslim ingin anaknya, dirinya (terutama kalo udah usia lanjut) terpaut hatinya pada masjid dengan ikhtiar yang berbeda-beda. Memang tak bisa dielakkan bahwa tantangan zaman semakin berat dan kondisi masjid kini tak seindah zaman dulu di mana suasana ngaji itu sangat terasa. Mudah-mudahan Ramadan ini kembali menjadi pengingat kita agar pergi ke masjid nggak cuma saat tarawih aja 😛
*saya edit EYD-nya karena tulisan aslinya disingkat-singkat, kagak enak dibaca
Anak-anak saya sudah ‘digotong’ ke masjid sejak 2,5 tahun. Kalo ayahnya nggak bisa, kakeknya. Anak-anak dibawa ke masjid di saat waktu salat yang ‘lengang’ dulu, seperti Zuhur dan Asar. Setelah sukses tidak lari-lari, tenang, dan tidak mengganggu jamaah lain, baru dibawa ke waktu salat yang lebih ‘ramai’: Magrib dan Isya. Setelah berminggu-minggu dan berbulan-bulan sudah tenang, baru dibawa ke waktu salat yang sedikit relatif lebih panjang, yaitu Jumatan. Kenapa Jumatan dulu sebelum tarawih? Karena Jumatan kan setiap minggu, sedangkan praktek tarawih kan kudu nunggu moment setahun sekali, lagipula kan kalo Jumatan yang bikin agak lama itu khutbahnya. Walaupun tidak boleh bicara, tapi ayah/kakek/om bisa menahan dengan tangan agar anak yang dibawanya tidak lari dan bercanda-canda, sedangkan kalo tarawih, orang dewasanya akan terus salat sehingga anak yang dibawa akan lebih susah dikontrol.
Setelah si abang TK, kakeknya yang menjemput ke sekolah dan dari situ langsung ke masjid. Dia dibiasakan dengan atmosfer masjid sebelum waktu salat tiba, jadi nggak datang pas shalat. Sambil menunggu azan, kakeknya bisa menjelaskan atau cerita macam-macam yang berhubungan dengan masjid. Misalnya, sejarah bagaimana azan dikumandangkan, cerita tentang Bilal bin Rabah, atau apalah, baru salat, jadi ada prolog yang menyenangkan dan child-friendly. Belum kalau pulangnya hujan, mereka akan bersama-sama menunggu hujan reda atau menembusnya sambil main hujan.
Pengalaman ke masjid beragam rupa, mulai dari anaknya ketiduran saking khutbahnya kelewat panjang jadi si kakek nggak bisa pulang-pulang sampai anaknya pipis di karpet musala. Kakeknya sampai malu dan harus membayar biaya pencucian karpet ke marbotnya. Karena kejadian ini, anak kedua kadang dipaksa pake diaper kalo masih dalam jangka waktu beberapa bulan dari toilet training-nya, khawatir mengikuti jejak abangnya. Juga ada kejadian kakek-kakek yang suka marah-marah kalo ada anak yang tidak khusyuk salatnya sampe si adik ketakutan ke masjid karena ada kakek yang suka nyelepetin anak yang berisik dengan sajadahnya. Walau yang berisik bukan anak saya, sampe sekarang nama masjid itu jadi masjid ‘kakek keprek-keprek’ untuk anak saya, bukan Masjid Al-Huda.
Kini, karena sudah tinggal jauh dari kakek dan ayahnya kerja sampai jam 5, ibunya yang kena. Sepulang sekolah stop dulu di masjid, nunggu Asar berjamaah. Si adik jadi ‘terpaksa’ diboyong juga. Semakin usia besar, ‘instalan sebelum azan’-nya tambah kompleks dan berbeda. Kini setelah SD, dikenalkan tahiyatul masjid dan rawatib sebelum salat wajibnya. Dijelaskan bahwa anak muda yang mengikat hatinya di masjid dijanjikan naungan Allah di akhirat sana. Saya juga bercerita kepada mereka bagaimana waktu saya balita, Istiqlal adalah taman bermain saya. Sampai besar, saya tetap ‘digeret’ ke masjid yang jaraknya 20 km di gelapnya musim dingin Florida bagian utara, satu-satunya di kota itu, dan saya SMP kelas 3! Padahal kami tiga bersaudara perempuan semua. Belum kalo Ramadan, kami berangkat ke masjid dari ba’da Asar sampai tarawih setiap harinya, berbuka di sana, karena ibu saya bergantian dengan ibu-ibu lain untuk masak makanan berbuka.
Cinta masjid adalah proses yang panjang, Ibu, Bapak. Nggak bisa instan dan segera. Bukan hanya anak laki-laki, tapi anak perempuan juga. Karena walau kalo anak perempuan saya tahu utamanya di rumah, tapi kelak kan mereka diharapkan punya anak laki-laki pula. Belum tentu suaminya sempat membawa anak laki-lakinya ke masjid walau hanya sekedar salat Isya. Kalo dulu ibunya tidak dibawa-bawa ke masjid, mana kepikiran harus berinisiatif membawak anak laki-lakinya kesana? Andaikan ayah saya tidak menggeret saya dulu, bagaimana saya bisa cerita?
Kita masyaAllah tinggal di negara yang azannya bersahut-sahutan dan jarak masjid dari rumah tidak seberapa. Seharusnya mengajarkan anak-anak kita cinta masjid jauh lebih mudah dari apa yang dilalui ayah dan ibu saya. Namun, jangan demi anak cinta masjid, jadi mengganggu orang lain ibadah. Itulah sebabnya anak nggak bisa dibawa tarawih serta merta. Ada setahun ke depan untuk latihan agar di Ramadan berikutnya anak bisa tenang dibawa ke masjid kalo sekarang belum bisa. Akan tetapi, hanya orang tua yang cinta masjid yang bisa menurunkan cinta itu kepada anak-anak mereka. Jadi sebelum Anda sibuk membuat anak Anda cinta masjid, pastikan Anda dulu yang cinta.
Catatan: Ramadan, salat, Zuhur, Asar, Magrib, Isya, azan, dsb. ditulis sesuai ejaan bahasa Indonesia, bukan bahasa Arab