Family time is a fun topic to talk, but it didn’t cross to my mind for revealing it until the #writingchallenge I’m joining called #tantanganmagata set this topic in May, which is also our special month of the year.
Untuk mengidentifikasi family time kami, yang dalam hal ini spesifik ke arah “hiburan” keluarga, mari kita eliminasi dulu pilihan-pilihan lazim keluarga dengan profil mirip seperti kami: tinggal jauh dari keluarga besar di negeri orang dan punya dua anak kecil. Definisi “anak kecil” di Jepang itu direpresentasikan dengan kanji 児 (ji) yang makna leksikalnya adalah osanai kodomo (幼い osanai = muda, 子供 kodomo = anak). Dimulai dari lahir hingga bisa berjalan, anak disebut 乳児 (nyuuji) karena masih identik dengan minum 乳 (nyuu = susu), kemudian jadi 幼児 (youji) yang kasarnya sama dengan batita, tapi arti lebih dalamnya berasal dari kanji pertama, 幼 (you), yaitu “tidak bisa pergi sendiri”. Nah, terakhir, kalau sudah masuk sekolah, akan disebut 園児 (enji) yang mana 園 (en) melambangkan “taman”, salah satunya mengacu pada taman kanak-kanak (TK) tentunya. Setelah lulus TK, baru deh anak berhak menyandang gelar 子供 (kodomo = istilah untuk “anak” secara umum) yang sesungguhnya.
Kenapa bahas tentang “anak kecil”? Karena mau tak mau family time kami sangat dipengaruhi keberadaan mereka. Mengasuh anak kecil tentunya perlu lingkungan khusus yang membuat mereka dan orang tuanya nyaman. Family time can turn into ‘disaster’ without proper facilities for them 😀
Tidak mungkin kami merasa nyaman menonton film sebagai hiburan kami di rumah, sekalipun malam hari, jika bayi bisa terbangun kapan saja ketika bau ketek ibunya hilang. Bisa sih nongkrongin layar kaca sambil menggendong anak, tapi jadinya bukan relaksasi untuk kami yang tenaganya sudah habis untuk mengurus bayi dan rumah di siang harinya. Ketika bayi agak besar, nonton bareng sama anak juga enggak pernah berhasil. Selain banyak gangguan karena anak bosan, mengantuk, pengen makan ini itu, mengajak bermain, dan sebagainya, biasanya akan muncul perdebatan tentang “apa yang mau ditonton”. Belum lagi, kami berdua hampir tidak pernah lepas dari amanah di komunitas, yang biasanya kami kerjakan saat anak tidur atau weekend. Ujung-ujungnya, kami harus memilih dan tentu saja menamatkan dua jam sinema bukanlah pilihan.
Bagaimana dengan makan bersama? Jauh sebelum menjadi orang tua, kami tahu kegiatan ini sangat direkomendasikan agar anak kecil yang baru belajar makan bisa termotivasi dengan melihat orang tuanya makan selain juga untuk menguatkan bonding. Namun, di tanah rantau ini, rumah kami tak pernah cukup besar untuk meja makan yang fungsional dan waktu kami tak berlebih untuk sekadar makan sambil bercakap atau bersenda gurau. Every meal time is hectic without a nanny! Di saat anggota keluarga lainnya menikmati masakan Mama, Mama masih sibuk beberes atau mencuci piring di dapur. Mengawasi anak makan dan mengantisipasi ‘insiden’ saja masih sering terlewat kami lakukan!
Rasanya, hanya agenda pergi ke luar rumah yang bisa menjadi momen refreshing kami sekeluarga. Apa pun itu, mulai dari hanya keliling kota naik sepeda sampai betul-betul menginap di tempat baru berhari-hari. Dalam perjalanan itu, kami bisa menghabiskan waktu bersama di ruang yang sempit seperti mobil atau hotel serbamininya Jepang, tanpa pusing memikirkan konsumsi, risi melihat tumpukan baju kotor, stres menyaksikan rumah kayak kapal pecah. Satu sama lain bisa fokus memberi perhatian karena memiliki perasaan ‘awas’ berada di tempat yang asing. Destinasi yang kami tuju biasanya selain berupa “hiburan”, khususnya yang anak pun senang, diusahakan ada pelajaran hidupnya. Itulah sebabnya orang kenal kami sebagai traveller rempong. He he he. Oh ya, kami juga sangat suka mengunjungi rumah sanak kerabat di mana pun berada dan memprioritaskan waktu untuk silaturahmi. That’s it!

Emang hiburan di rumah sih bukan untuk mamah. Karena mama sih tetep rempong kalau di rmh
LikeLike