The next Monday (July 2) will be a big day for Musa. He’s going to begin the journey of being formal student in a Japanese kindergarten. As the newbie, he has to catch up his friends in the class who have already started their school three months ago. Musa couldn’t enter kinder at the same time like other kids once the new academy year nationally kicked off on April in Japan because he was still two years old. However, when a kid turned 3 years, it is possible to apply kinder after normal period as long as the school still has quotas and opens the recruitment. That’s what we did 🙂
Lebih lengkapnya tentang celoteh post Instagram yang saya share di atas akan dibahas di bawah. Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan tentang TK di Jepang.
Agak mengejutkan bagi saya bahwa di sini TK bisa dimulai dari usia tiga tahun. Cepet, ya? di Indonesia umur segitu masih playgroup, sedangkan di Amrik juga masih preschool. Lebih wow lagi kalo nyimak sebagian psikolog, salah satunya bu Elly Risman, menyarankan masuk sekolah baiknya dari umur lima, mengingat di usia 7 tahun lah otak mereka baru siap nerima pelajaran kognitif seperti membaca dan menulis.
Dulu, saya nggak kebayang masukin anak sekolah sedini itu, bahkan sempat terpikir jika kami berada di Indonesia mungkin saya akan pilih homeschooling melihat beban anak sekolah zaman now tidak seperti yang seharusnya. Namun, jujur aja, kalo kami dikasih kesempatan tinggal di negara maju selama masa pendidikan dasar anak, keinginan saya justru sebaliknya: sebisa mungkin anak bisa ikut sekolah. Beda soalnya pendekatan mereka sama negara kita. Di negara maju yg saya tahu seperti Jepang dan Amrik, anak balita nggak diajarin baca tulis, apalagi syarat “sudah bisa membaca” saat masuk SD, dan sekolahnya bisa dibilang isinya banyak main-main aja. Belajarnya sambil main. Mainnya seru-seru, serius, dan fasilitas memadai. Ala-ala Montessori gitu.. banyak program keluar sekolah dan bikin craft juga. Wah, senang lihatnya.. jadi boleh banget laaah masih kicik ikutan sekolah biar kereatif 😂
Balik lagi ke Jepang..
Saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa TK di Jepang umumnya menerima murid yang sudah berusia 3 tahun pada tahun ajaran baru yang dimulai 1 April, saya kepikiran dengan Musa yang lahir awal minggu kedua Mei. Umurnya nanggung untuk masuk TK Jepang. Di saat teman-teman sebayanya sudah bisa sekolah di April 2018, dia baru 2 tahun 10 bulan, dan harus nunggu setahun lagi. Ketika tiba saatnya masuk, dia sudah mau usia empat, jadi anak kelahiran April atau Mei musti terima nasib jadi sesepuh di kelasnya. Ada pandangan lain yang cukup menghibur yaitu enakan jadi yang paling tua di kelas, menangan sendiri 😅
Untuk memfasilitasi anak-anak dengan tanggal lahir nanggung tapi kebelet nyobain sekolah itu, di Jepang juga ada preschool sebenarnya. Preschool tersebut kebanyakan diadakan oleh TK-TK juga, hanya mereka punya kelas khusus atau bisa juga dari lembaga pendidikan lain macam sekolah Doraemon dekat rumah yang lokasinya di atas supermarket. Karena cuma buat persiapan masuk TK, preskul biasanya hanya berdurasi satu jam setiap kali datang dan seminggu sekali aja. 😆 Itu pun masih harus ditungguin ibunya, jadi yaa lumayan jauh sama TK yang lamanya 5 jam dan anak serba mandiri di sekolah. Namun, diharapkan anak-anak yang ikut preskul di suatu TK kelak akan lanjut menjadi siswa di TK itu, jadi ini semacam uji coba juga bagi wali murid sekaligus ajang promosi bagi sekolah.

Contoh international preschool di Jepang
Mulai akhir tahun lalu, para ibu teman-teman jidokan (balai anak-anak, tempat ibu dan anak bersosialisasi di satu ‘RT’) yang sebaya dengan Musa sudah mulai hangat memperbincangkan mau preskul di mana. Saya dan suami sempat berdiskusi soal itu juga. Udah sempat lihat-lihat juga TK yang buka preskul di area kami, banyak juga yang modelnya international preschool, tapi nggak mantap-mantap daftar juga sampai akhirnya Aisar bilang, “Kalo cuma sejam dan sama ibunya, mending main di jidokan aja dong, gratis”😑 Awalnya kezel dibilang gitu, tapi dipikir-pikir bener juga sih, mending sekalian TK aja ntar, kan pengennya mama punya me-time juga pas anak sekolah #eh.

Contoh suasana kegiatan di jidokan – Musa lagi ambil hand stamp buat suvenir ultahnya – di jidokan anak ada tatap muka sama sensei 30 menit per hari diajakin nyanyi, nari, baca buku, bikin prakarya, dll. setelah itu ada sesi makan siang bareng para ortu dan secara periodik ada event besar juga.
Nah, dari situlah timbul pertanyaan selanjutnya, “Kalo mau langsung masuk TK emang ada yang bisa cepet kaya preskul? tanpa nunggu April tahun ajaran berikutnya di mana Musa udah lewat jauh dari 3 tahun?”. Jawabannya, ternyata ada caranya, yakni cari TK yang nerima murid sepanjang tahun atau sampai waktu tertentu sesuai kuota dan aturan mereka. Meskipun jumlah TK semacam itu hanya segelintir, informasi nama sekolah dan jumlah kuota yang masih tersedia di website resmi pemerintah kota setempat tidak perlu diragukan validitasnya. Cara yang sama kami pakai ketika memantau peluang hoikuen. Berbekal itu, pak Aisar menemukan dua sekolah prospektif: Komyo Youchien and Kourin Youchien. Keduanya dalam radius 800 m dari rumah dan punya rating bagus menurut forum nihonjin (juga beberapa ibu di jidokan bilang gitu ke saya). Kourin yang lebih jauh dari Komyo malah punya bus sekolah jadi ortu nggak perlu antar jemput, tapi sayangnya diketahui kemudian bahwa mereka adalah sekolah-sekolah berbau bukkyo (pemeluk Buddha) yang dananya disokong oleh kuil. Walaupun orang Jepang mayoritas tidak beragama dan tidak menganggap ritual-ritual ala kuil itu sebagai bagian dari kepercayaan mereka, tetap aja saya khawatir. Sempat tanya-tanya ke ibu-ibu lain yang pernah survei hoikuen / youchien, apa bedanya sekolah macam itu sama yang ‘netral’, ternyata jawaban mereka cukup bikin ragu. Ada doa-doa yang diajarkan ke anak dengan menyebut nama dewa-dewi 🙄. Kalo yang sekolah biasa paling cuma bilang “itadakimasu” aja. Err.. ntar dulu deh.
Mama galau. Papa mah tinggal ngikut Mama. Wkwk..
Jeda sebulanan dari masa galau, perhatian kami tersita akan hal lain (insyaa Allah akan diceritakan di saat yang tepat.. halah), jadi baru cari info lagi menjelang akhir bulan Mei. Pada saat itu, masa aplikasi untuk TK-TK Buddha tadi udah lewat. Suami mengabari bahwa dia nemu satu sekolah lain lagi yang nggak ada afiliasi ke agama apa pun, tapi lokasinya jauh, beda dua stasiun dari stasiun dekat rumah, sekitar 3 km. Saya langsung mengiyakan untuk kengaku (melihat dan mengkaji, semacam survei). Memang warbyasak perjalanannya, tapi entah kenapa saya sreg dengan sekolah ini setelah kunjungan. Udah gitu ternyata di sini ada anaknya tetangga kami sesama orang Indonesia yang udah senior. Kepseknya menjelaskan kami boleh booking untuk mensetsu (wawancara) kapan saja tergantung pengen masuk kapan.

Saat kengaku di Kugahara Youchien, yang akhirnya kini jadi sekolahnya Musa

Saat kengaku di Kugahara Youchien, yang akhirnya menjadi sekolah Musa per Juli ini.
Lagi-lagi tepat sebulan kemudian kami baru follow up hasil kengaku. Bulan Juni tanggal 25 lalu kami wawancara dengan pihak sekolah. Sebelumnya Musa udah sering dilatih jawab kisi-kisi pertanyaan dalam bahasa Jepang karena di interview konon anak akan dilepas tanya jawab sendiri dengan staf sekolah. Udah sampai hafal template-nya, tapi di hari-H rupanya nggak ada yang ditanyain. Cuma dites masuk kelas dan bermain bersama sensei aja. Sama formulir isian soal perkembangan dan keseharian dia mereka kritisi, misalnya “Ini kok tidurnya malam banget ya jam 10? Bangunnya sesiang ini? bakal telat dong masuk TK-nya.. bla bla bla” 😬 Hari itu juga mereka mengeluarkan surat penerimaan Musa sebagai muridnya. Kami diberi briefing panjang dan dibawakan (baca: disuruh beli😝) peralatan sekolah juga. Seorang kandidat lain malah udah bawa duit segepok buat uang pangkal. Waduh, kami cuma bawa yen seadanya. Masih ngutang. Wkwk..

Gaya Musa terciduk jatuhin topi saat pergi wawancara TK

Benerin topi dulu sebelum audisi. Hahaha.. On the way to youchien’s interview 😎
Hasil tes di hari seleksi itu menunjukkan bahwa Musa yang terkenal pede abis nyatanya masih belum berani pisah dari Mama, nangis pas saya tinggal, jadi bu guru meminta saya untuk mendampingi dia sampai bisa sekolah sendiri. “Mada chiccaii dakara..”, katanya alias masih keciiil soalnya. Dengan pertimbangan itu, saya pun memutuskan untuk memilih ia masuk sejak bulan depan meskipun sebentar lagi ada libur panjang musim panas. Tujuannya, agar waktu yang ada sebelum bulan September nanti bisa dimanfaatkan Musa untuk adaptasi. Karena kalo semua orang sudah masuk semester dua bulan 9 itu dianya baru mulai sekolah, Musa akan sangat ketinggalan dari teman-temannya. Resikonya kami harus tetap bayar SPP untuk bulan Agustus yang libur (tapi masih ada sekolah pendek yang lebih banyak main airnya). Juga ada konsekuensi saya musti persiapan segala sesuatunya (pesen seragam, jahit tas-tas, nulisin nama, ngubah jam tidur Musa, beli-beli barang, siapin mental bikin bento tiap hari.. wkwk) dalam waktu seminggu saja! Udah rahasia umum kalo printilan sekolah di Jepang itu banyak banget.. 😅
Enaknya masuk sekolah setelah penerimaan murid baru yang umum, pesaingnya jadi jauh lebih sedikit. Dari mulai kengaku sudah kebaca kira-kira bakal keterima atau tidak. Nggak enaknya, jadi nggak ngerasain euforia nyuuenshiki (upacara murid baru yang biasanya jadi ajang penting sekeluarga), kecuali ntar pas September atau April tahun depan ikutan sebagai formalitas. Haha.. Ohya, sisi nggak enak lainnya adalah pilihan sekolah terbatas karena tidak banyak yang masih mau menyambut murid baru setelah April.
Anyway, begitulah pilihan kami. Biduk sudah dilabuhkan dan tidak ada alasan untuk kembali merapat. Eaa.. Semoga kami bisa istiqamah menjaga semangat rutinitas baru ini. Semoga dengan perginya Musa ke TK ini kami bisa belajar banyak tentang mengasuh dan mendidik anak biar tertib, disiplin, bermoral baik, dan punya etos kerja bagus seperti orang-orang Jepang. Semoga Musa bisa lebih siap mental dan matang sebelum jadi kakak nanti. Aamiin.