One day in Ramadan this year, we experienced to see and hear the most relieving heartbeat ever when an empty sac in my belly turned into a sac with tiny creature inside. SubhanAllah wal hamdulillah! I went through uneasy time before that day. Physically, I had the nausea, back pain, stiff legs, and migraine alternately during the day. Mentally, I had less appetite to do anything and often questioned: am I suffering all these aches for ‘something’? with the baby wasn’t showing up yet, it was hard time to bear the pregnancy symptoms patiently. I spent the days to read many articles about empty sac and got prepared to receive any bad fate such as blighted ovum (涸死卵) or miscarried (流産)! Here I’d like to tell you that…
Facing all the possibilities in pregnancy may be not always easy to accept, but keep believe in The Creator who never makes anything reason-less. Be thankful to be trusted to get pregnant instead.
It was not the first super-anxious-two-weeks for me. Back to the past I had:
- [2014] Two weeks waiting for the next check up at OBGYN while expecting the bleeding to stop in my first pregnancy –> ended up in miscarriage at 6-7 weeks T_T
- [2015] Two weeks waiting from week 24 to week 26 for additional ultrasound to make sure whether the fetus in my womb normal or having problem since the ultrasound showed the bright color in the bowel area which could be chance for down syndrome (can you imagine how I felt?), cystic fibrosis, or nothing –> ended up healthy baby Musa 🙂
And still, we never know what’s going to happen later… so, for my self reminder and to the fellow expecting mothers out there, please be positive thinking. Our body is ourselves.
Prophet Muhammad PBUH said
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي
Allah the Exalted says: I am as my servant expects me and I am with him as he remembers me. (Source: Sahih al-Bukhari 6970)

Ultrasound pictures which show the transformation of gestational sac inside my womb: [BEFORE] empty + no fetal pole + no yolk [AFTER] fetus + heartbeat.As this post was written down, the baby aged 14 weeks and had another ultrasound check at 11 weeks.
In Japan, we require an ultrasound in every check-up from the first prenatal visit (even though you’re just four weeks pregnant!!!) to officially claim the pregnancy until the last visit before delivery. It’s much different compared to US standard which only requires at least ONE compulsory ultrasound to check gender (around 15-20 weeks). I’m going to write the next passages in Bahasa, so please check these references if you need some guides about being pregnant in Japan:
-
-
- Savvy Tokyo – 10 Must-Read Articles If You Are Pregnant in Japan (this covers many aspects you need to know from first prenatal visit, administration procedures, cost, to birth
- Pregnant In Japan: 15 Things They Do Differently (successfully made me giggled a lot! :D)
- Pregnant in Japan: Resources (tells you where to ask helps and buy baby/mom essentials)
- Last but not least, don’t forget to check your city’s homepage first before going to the clinic or hospital. There should be a lot of important information to read by newbie.
-
And if possible, choose the medical institution whose English-speaking staff to support your visit. A number of hospitals in Tokyo even have provided reading materials in English.
Dua minggu terakhir menjelang Ramadan tahun ini, saya baru bayar sisa hutang puasa tahun lalu (jangan ditiru! :D). Puasanya nggak dilakukan berurutan hari karena saat itu entah kenapa badan rasanya lagi 3L (yaelah.. jadul banget istilah gue), lalu baru dapat 3 dari 4 hari, saya iseng cek pakai test pack karena mens sudah terlambat beberapa hari. Tidak terlalu berharap positif sebenarnya karena selama sebulan terakhir usaha TTC nggak ada yang pas sama masa subur atau jadwal ovulasi. Wkwk.. Alhamdulillah muncul dua strip yang cukup jelas.
Memang namanya kehamilan itu misteri ya.. hamil sebelum Musa juga gitu, kami sedang tidak planning, ternyata dikasih walaupun akhirnya luruh. Saat Musa pun, saya hanya terlambat sehari (yang sangat amat wajar mengingat jadwal haid saya memang tidak teratur, siklusnya 40 hari) dan tidak menyangka karena baru dua bulan sebelumnya keguguran.
NB: Di test pack sebelumnya yang diambil bulan Maret bagian strip tanda kehamilan tidak benar-benar kosong, tapi garisnya tampak samar dan kemudian saya masih dapat haid. Baca-baca sih katanya strip itu bisa muncul karena evaporasi. Strip yang valid hanya keluar dalam masa reaksi yang tertulis di kemasan test pack. Jika awalnya negatif, lalu setelah sekian menit tiba-tiba muncul strip positif yang samar, berarti abaikanlah… daripada baper, kan 😛
what to do SETELAH ADA TANDA POSITIF
Walaupun anak kedua, karena kali ini hamil di Jepang yang mana sangat berbeda kondisinya dengan di Amrik dulu, begitu tahu hasil test pack positif, yang pertama saya lakukan adalah menghubungi teman yang sedang hamil, yaitu Qori. Saya pastiin ke dia umur berapa minggu bisa periksa karena kalo di Michigan dulu, dari mulai nelpon minta booking sampai boleh datang itu harus nunggu usia kehamilan paling tidak 8 minggu. Ternyata, di sini boleh datang kapan aja kita mau selagi ada slot kosong. Jika dihitung dengan bantuan aplikasi, saat itu saya baru di minggu ke-5. Dari situlah saya baru yakin memulai pencarian ObGyn (di Jepang istilahnya 産婦人科 = “sanfujinka”) yang bisa mengkonfirmasi kehamilan.
Carinya gampang aja, cuma ngandalin Google Maps, tapi anehnya hampir semua klinik dan rumah sakit di sekitar rumah saya rating-nya jelek –> di bawah 3 bintang! Karena penasaran, saya baca juga ulasan orang Jepang yang ngasih review jelek, rupanya emang banyak yang kecewa dengan pelayanannya, padahal ya cuma karena stafnya kurang ramah, nanyain kuesioner yang menyinggung pertanyaan, atau disuruh pindah RS karena usianya sudah 35 tahun (high risk). Wah, benar kata Qori, orang Jepang memang strict banget soal layanan kesehatan.
Selain cek penilaian netizen di GMaps, saya juga mengecek website pemerintah kota (daerah saya namannya Ota-ku, di sini situsnya –> langsung kelihatan kan menu ibu hamil di badge pertama). Ini standar di Jepang. Di kota-kota lain pasti juga ada informasinya di homepage mereka.
Di sana ditulis lengkap prosedurnya dari mulai menyadari kehamilan sampai cara mendapatkan subsidi kelahiran anak. Ada daftar seluruh RS di kota yang bisa menangani kehamilan, alamatnya, aksesnya dari stasiun / halte bus, dan ketersediaan layanan persalinan. Dari daftar tersebut, saya coba cari satu per satu lagi di Google Maps. Tetap ragu! Wkwk.. yang termasuk “bagus” aja rating-nya cuma sampai tiga koma, cuy! Parah banget.. sementara di Michigan dulu karena kami tinggal di Ann Arbor yang kebetulan kota pelajarnya Michigan dan ada rumah sakit kampus di situ (ibarat RSCM-nya UI atau RS Dr Sardjito-nya UGM lah), tak perlu kami bingung macam itu. Akhirnya nanya ke tetangga-tetangga Indonesia yang lagi hamil atau pernah lahiran di sini seoerti Gina dan Vita. Dari situlah, saya punya gambaran yang lebih jelas mengenai klinik / RS yang dituju.
Hasil menelepon beberapa klinik dan rumah sakit adalah sebagai berikut:
- beberapa rumah sakit memerlukan surat rujukan (紹介状 = shokaijo) dari klinik, sedangkan RS terdekat dari rumah saya tidak perlu surat rujukan
- tidak semua klinik atau rumah sakit punya dokter perempuan (女の先生 = onna no sensei)
- saat menelepon, pasti ditanya keperluannya apa dan jawabannya adalah pemeriksaan kehamilan (妊娠の検診 = ninshin no kenshin) karena kan ObGyn nggak cuma melayani bumil
- meskipun belum sampai deal untuk periksa di klinik / RS itu, data diri kita diminta di awal setelah ditanya keperluan itu, antara lain:
- nama
- umur / tanggal lahir
- kehamilan ke berapa –> bahkan ada yang tanya kehamilan sebelumnya normal atau sesar
- apakah ada rencana melahirkan di situ
- dari percakapan dengan staf yang nerima telepon saya itu saya jadi punya gambaran klinik / RS mana yang meyakinkan dan tidak, misalnya ada klinik dekat rumah dan terdaftar di rekomendasi kota tapi yang jawab udah tuaaa banget kayanya terus dia rada (maaf) budek udah gitu dia nanya ke staf lain yang mana juga udah terbata-bata suaranya
NECESSARY FIRST CHECK: POSITIF BELUM TENTU HAMIL
Pak suami, Aisar, seperti biasa tugasnya ngulik informasi terkait administrasi, misalnya dengan kantor kecamatan (区役所 = kuyakusho) dan sebangsanya. Menurut doi, yang kemudian juga saya temukan infonya di 280 days (aplikasi hamil a la Jepang, ada menu bahasa Inggris), kita baru akan diakui hamil dan dapat fasilitas seperti kupon periksa, maternity mark (pin/gantungan kunci), buku ibu dan anak, dsb. kalo sudah ada bukti detak jantung bayi. Namun, dari hasil nanya Gina, dia dikasih-kasih aja tuh semuanya sama staf di kuyakusho hanya dengan mengaku hamil, bawa test pack, dan mengisi formulir dari mereka. “Gara-gara aku kedipin neneknya kayanya, Mbak!”, kata dia. Ngarang aja tapi dia udah ke klinik dulu sebelumnya di usia (baru) 4 minggu jadi bisa ngisi di formulirnya institusi kesehatan yang digunakan. Mungkin dari situlah mereka percaya.
Mencoba keberuntungan yang sama (halah), saya pun berencana mengunjungi kuyakusho setelah pemeriksaan pertama. Karena hampir semua RS perlu surat rujukan, saya pun mau nggak mau harus ke klinik dulu, padahal suami inginnya langsung di RS biar bisa sekalian survei kondisi RS. Yah, gimana lagi.. RS-RS yang jadi kandidat kami semuanya butuh surat rujukan. Klinik yang kami tuju pun bisa dibilang asal ada, ngikut tempat Gina dulu meskipun rating-nya jelek banget (cuma satu koma T-T). Demiii yaa demiii surat rujukan.. duh, ala Indonesia banget nggak, sih 😛
Berangkatlah saya ke klinik asal ada itu yang ternyata dekat dari rumah, jadi bisa ke situ sendiri naik sepeda sama Musa. Di cek pertama ini, urin saya diambil dan dicek, kemudian dipersilakan masuk ke ruang dokter. Langsung transvaginal! Wow.. yang boneng aja masih cilik gini udah diubek. Alhasil, karena masih kecil, cuma kelihatan setitik noktah hitam (kantong janin) di tengah hamparan putih (rahim).
Terus sonographer yang ngecek saya cuma bilang, “Kayanya hamil, yah..”
Oh, baru kayanya, ya.. jangan senang dulu kalo gitu 😀

First prenatal visit (~5 weeks) in the clinic to make sure the pregnancy and ask introduction letter for further checks at hospital
Mereka juga belum bisa mengestimasi HPL ketika itu. Hanya saja, dokternya memprediksi usianya sekitar 5-6 minggu. Selanjutnya, saya dipersilakan bayar satu mang lebih dan ambil surat rujukan keesokan harinya (kenapa lama, ya?). FYI, seluruh pemeriksaan kehamilan di sini tidak ditanggung asuransi karena tidak terhitung penyakit, tapi pemerintah memberikan subsidi melalui kupon-kupon berwarna yang bisa diambil di kuyakusho. Nah, untuk pemeriksaan pertama itu tadi karena belum dapat kuponnya, jadi nggak ada keringanan. Di awal sebelum periksa memang ada kuesioner yang meminta kesanggupan kita membayar meskipun misalnya kemudian ternyata tidak dideteksi adanya kehamilan. Ngenes kan, ya, kalo nggak ada apa-apa di dalam… agak aneh memang ini prosedurnya. Butuh surat rujukan dari klinik, tapi biaya 100% dari pasien. Nggak tahu juga apakah ini nanti bisa diikutkan sebagai biaya yang bisa mengurangi pajak.
BTW, buat yang belum ngeh maksudnya ‘positif belum tentu hamil’ itu apa, jadi beberapa kemungkinan kalo di urin kita terdeteksi HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) yang bisa diketahui dengan dua strip di test pack adalah sbb:
- Hamil di dalam rahim
- implantasi (telur yang sudah dibuahi tertanam di dinding rahim) sudah terjadi dan berkembang menjadi embrio –> normal pregnancy
- implantasi sudah terjadi, kantong janin juga sudah terbentuk, tapi telur yang sudah dibuahi (blastosis) tidak berkembang menjadi embrio –> blighted ovum
- implantasi juga sudah terjadi, tapi telur yang dibuahi tidak normal (tidak mengandung gen dari ibu) sehingga kantong janin berisi air ketimbang embrio –> molar pregnancy (hamil anggur)
- Hamil di luar rahim
- implantasi terjadi di area selain dinding rahim seperti di indung telur, tuba falopi, atau mulut rahim (ini karena telur yang sudah dibuahi gagal mencapai rahim) –> ectopic pregnancy
Sejauh implantasi berhasil, tubuh akan otomatis memproduksi hormon HCG, makanya disinilah klinik wanita itu laku buat ngecek lebih lanjut setelah tes kehamilan mandiri di rumah 😛 Kadang kita udah telat haid dan ‘yakin’ kalo pembuahan berhasil, tapi dicek hasilnya masih negatif dan ternyata setelah nunggu 1-2 minggu jadi positif. Itu berarti saat cek pertama, telurnya masih dalam perjalanan menuju rahim untuk kemudian menambatkan dirinya ke dinding rahim
Lapor hamil ke pemerintah Like a boss
Uniknya di Jepang, yang konon nggak ada di negara lain, hamilnya seorang wanita itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan khayalak ramai sejak dini, bahkan mungkin jauh sebelum sang ibu punya keberanian untuk mengabarkan ke sanak kerabatnya. Kok bisa?
Iya, jadi gini.. seperti yang disinggung sedikit di atas, kalo kita hamil kita disuruh datang ke kantor kecamatan buat lapor dan minta berbagai printilan yang menjadi hak kita, diantaranya adalah maternity mark yang bisa dipasang di benda-benda kita sehingga orang lain tahu kalo kita lagi hamil. Bentuknya bisa berupa gantungan pake ball chain (semua dapat), pin, dan/atau stiker. Biasanya dipasang di tas yang kita bawa bepergian. Karena di sini budayanya naik kendaraan umum yang kadang kejam kompetisi dapatin kursinya, dengan tanda tersebut kita bisa pakai priority seats (kursi-kursi yang diprioritaskan untuk manula, orang sakit, ortu bawa anak, bumil, disabled, dsb.) atau paling tidak orang jadi lebih aware untuk menjaga kita (ini saya rasain bener, ya.. jadi lebih dibantu apa-apanya, pakai elevator gitu kita diduluin juga).

Visit to city office (区役所 = kuyakusho) for pregnancy procedures. (1) Coupon for check ups (2) (3) Handbook mom and child (母子手帳 = boshi techo) (4) Filling up the forms
Setiap kota punya kebijakan masing-masing juga terhadap pelayanan ibu hamil, seperti misalnya di kota saya (Tokyo):
- jadi punya hak untuk menitipkan si kakak ke hoikuen (semacam daycare yang aslinya cuma boleh buat ibu-ibu pekerja/kuliahan)
- hadiah yang bisa dipilih untuk si bayi, kakaknya, bapaknya, atau ibunya 😛
- lump sum biaya persalinan yang diberikan setelah bayi lahir, jadi kita tinggal nombokin aja kalo kurang –> ini di seluruh Jepang kayanya ada
Kalo anaknya udah lahir, ada juga tunjangan-tunjangan seperti uang saku tiap bulan, subsidi SPP sekolah, dan bebas biaya periksa ke dokter, imunisasi, atau layanan medis lainnya. Yah, walaupun di sini kagak ada baby registry, WIC, dan Motherhood Maternity yang suka sale, tetap ada juga ternyata voucher-voucher belanja murah dan diskon-diskon hiburan anak.
JAPAN vs USA: USG tiap kontrol
Bedanya hamil di Jepang dan di Amerika itu, yang cukup bikin saya kaget, adalah adanya pengambilan USG setiap kali kontrol. Di Amrik, selama 40 minggu hamil cuma dapat ultrasound sekali saat cek anatomi dan jenis kelamin (15-20 weeks) itu udah paling standar, tapi biasanya ada sekali pengecekan lagi setelahnya. Bayangkan! Kita nggak bisa sering-sering ‘ketemu’ sama bayi yang ada di perut, nggak tahu kondisinya gimana, boro-boro lihat mukanya pake 3D ala cek kehamilan di Indonesia. Di Jepang aja juga nggak lazim ada 3D ultrasound.
Saya pernah tanya ke dokter kandungan di Amrik dulu, kenapa di sana jarang dapat USG, sementara di Asia kecenderungannya bayi dimonitor terus sampai lahiran dipastikan sungsang atau nggak, tali pusarnya melilit atau nggak, beratnya kegedean atau nggak, dsb.
Dokter saya menjawab, “Even if we know that, we can’t do anything to change the condition. We don’t want to make you worry too much”. Buat saya jawaban itu agak ngeselin, tapi luar biasa. Benar juga, kalo sudah takdirnya, ya mau gimana lagi.. cuma bisa pasrah dan berdoa aja kita. Toh, masih ada Tuhan yang punya kuasa mengubah segalanya. Itulah sebabnya di sana juga yang namanya caesarian surgery umumnya hanya dilakukan dalam kondisi emergency, bukan yang dipilih atas kesepakatan ibu bersama dokter dan dijadwalkan sebelumnya.
Perkara “nggak mau bikin ibu khawatir” itu akhirnya saya alami sendiri di sini. Kalo dulu saya kegirangan dapat ekstra USG sebanyak 2x di Amrik karena riwayat keguguran dan adanya kondisi abnormal pada bayi di kontrol 24 minggu, kali ini ketika di Jepang saya malah merasa menyesali ultrasound terlalu dini yang akhirnya malah bikin saya jantungan nggak ketulungan. Setelah kontrol pertama di klinik itu, saya pun menjalani kontrol kedua di RS berbekal surat pengantar dari klinik.
Jarak antara kontrol pertama dan berikutnya harus kurang dari dua minggu sehingga saya datang ke RS di usia 6 minggu. Waduh, pasti harus dicek dari dalam lagi nih, pikir saya. Jujur aja aslinya saya nggak suka sakitnya transvaginal. Saat hamil Musa dulu, cuma sekali aja ngerasainnya Ohya, ini agak nggak penting juga, tapi jadi ingat yang beda lagi. Kalo di Amrik kita cuma tidur sambil mekangkang aja, di Jepang lebih canggih.. ada kursi khusus yang bisa digerakkan untuk membuka ‘bagian bawah’ wanita. Begini penampakannya.

Electric medical examination table (電動式内診台 = dendou shiki naishin dai) used in transvaginal ultrasound
Beda lainnya, di sini tekanan darah dan berat badan harus dicek mandiri, terus ditulis sendiri hasilnya di buku pegangan ibu dan anak. Setelah itu diminta ambil urin juga di belahan RS lainnya, diserahin ke loket, ntar kalo udah selesai balik lagi ke bagian dokter kandungan. Begitulah.. tipikal Jepang yang katanya lagi kontraksi aja disuruh jalan sendiri ke ruang bersalin.

Pregnancy check up at the hospital: (1) Receptionist (2) Measurement spot (3) Musa wanted to see his weight too :))
WHERE ARE YOU, BABY? HASIL CEK USIA 6 MINGGU
Balik lagi ke kontrol kedua yang jadi inti dari tulisan ini..
Dalam kunjungan pertama di rumah sakit yang akhirnya kami pilih dengan beberapa pertimbangan (biaya paling murah, dokter kandungan cewek banyak, dan udah tiga tetangga Indonesia pengalaman lahiran di situ), rahim saya diperiksa agak lama. Dag.. dig.. dug.. sambil mengamati layar ultrasound, mata saya ikutan cari ‘sesuatu’, yang ternyata disimpulkan teknisinya NGGAK ADA! DEG! Mau berhenti rasanya jantung saya saat itu.
Tidak ditemukan apa-apa di dalam kantong janin, padahal ukurannya sudah hampir 6x lipat dari pengecekan pertama
Dasar katro ya waktu itu karena minim pengetahuan dan dipicu rasa panik, hati saya langsung hancur. Dokternya jelasin apaaa udah nggak nangkap lagi, tapi untungnya suami dengerin (doi baru dikeselin karena malah kabur ke toilet pas saya diperiksa 😛 maaf ye, bos!). Menurut doi, intinya kami disuruh menunggu dua minggu lagi untuk pengecekan berikutnya sambil memantau apakah terjadi pendarahan atau tidak. Jika terjadi pendarahan, yang berarti peluang luruhnya janin, dipersilakan untuk datang lebih cepat. Suami juga sempat tanya apakah mungkin karena belum kelihatan aja janinnya atau terlalu kecil. Dokter muda yang nggak bisa bahasa Inggris itu pun mengiyakan adanya kemungkinan itu. Pada hari itu, saya belum bisa dianggap hamil sehingga pemeriksaan lain seperti kanker, ambil darah, dsb. ditiadakan dan disuruh nyimpen kupon periksa kehamilan untuk kunjungan berikutnya. Baik sih mereka, ultrasound-nya pun kayanya nggak dihitung saat itu karena saya bayarnya murah.
Sesampainya di rumah, saya baca berbagai artikel terkait kasus yang saya alami. Sebenarnya kalo mau milih tawakal, bisa aja saya santai kaya suami yang kayanya nggak ada beban, tapi saya bukan tipe orang yang no news good news atau ignorance is a bliss. Hehe.. saya jauh lebih siap menerima kenyataan kalo udah punya cukup informasi dibandingkan nggak tahu apa-apa terus tiba-tiba ngalamin kejadian buruk. Dari situlah saya kembali aktif jadi penyimak babycenter lagi. Memang lapak ini super lengkap memuat segala macam permasalahan seputar kehamilan dan pengasuhan anak. Saya merasa tidak sendiri. Banyak juga ternyata yang punya pengalaman kaya saya di mana bayinya nggak kelihatan di USG dengan dua kesimpulan setelah cek berikutnya:
- janin masih terlalu kecil untuk dilihat pada saat sebelumnya (cek lagi jadi nongol)
- janin berhenti berkembang saat masih berupa embrio kecil –> biasanya ditemukan sisa yolk sac, yaitu penyedia nutrisi untuk bayi sebelum terbentuknya plasenta
- tidak pernah terbentuk janin di dalam kantong rahim –> bligthed ovum (BO), tubuh mengakhiri kehamilan karena kegagalan kromosom atau disebut juga dead egg
Dari tiga kemungkinan tersebut, saya paling khawatir dengan BO karena ukuran kantong janin saya 24 mm (2.4 cm), sedangkan salah satu ciri BO adalah jika terdapat kantong janin kosong sebesar lebih dari 25 mm. Praktis, nikmatnya Ramadan saat itu agak terganggu. Setiap harinya saya menunggu apa yang akan terjadi.. sambil berdoa agar keajaiban muncul di cek berikutnya, bahkan kalo pun harus pendarahan atau dikuret, saya udah siapin hati juga walaupun NGGAK MAU pastinya 😀
Kan, bener, kan, makin banyak kita tahu makin cemas lah kita ketika ada hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi. Di situlah saya merasa, coba ya nggak usah dicek ultrasound dulu secepat ini… >.<
CEK 8 MINGGU: Baby’s HEARTBEAT!
Detak jantung saya di atas 90 kali per detik di hari kontrol yang ditunggu-tunggu. Saking deg-degannya! Wkwk.. Kali itu saya dapat dokter perempuan yang berbeda. Lebih senior, lebih menenangkan, dan jago bahasa Inggris. Seperti sebelumnya, urin saya diambil lagi, kemudian masuk ke ruang periksa dokter. Sebelum USG, dokternya cuma nanya “Ada pendarahan, nggak?” saya bilang tidak. Suami nggak boleh ikutan dulu sebelum mereka persilakan.
“Aru, aru, aru!” (ada, ada, ada!)
Begitu komentar teknisi yang ngecek saya setelah sekian menit perut saya diubek-ubek lagi, lalu saya mendengar mereka memanggil suami untuk masuk. Saya masih nggak yakin maksudnya si bayi ada karena yang tampak besar di layar malah dua area hitam di rahim yang cukup luas, yang saya tahu kemudian bahwa itu pembengkakan di rahim. Pantes.. kok belakangan sering kerasa cramping dan agak perih di perut. Dokter tidak meresepkan apa-apa untuk ini karena akan sembuh sendiri, cuma disarankan “puasa berbuat” aja dulu 😀
Alhamdulillah, akhirnya setelah penantian dua minggu penuh drama nangis-nangis dan agak kehilangan gairah hidup, sosok mini yang dinanti itu nongol juga dan kami bisa mendengar detak jantungnya secara jelas. Masya Allah, Allahu Akbar! Sampai sekarang saya nggak percaya bagaimana bisa dalam kurun waktu dua minggu itu Allah menjadikan segalanya mungkin. Dari yang tadinya sama sekali tidak ada apa-apa menjadi seorang makhluk yang sudah bisa dibedakan struktur kepala dan badannya. Can we still deny His majesty and blessings?
Setelah kehamilan saya diakui , para suster dan dokter pun memberi selamat. Berikutnya saya diwawancarai oleh dokter dan kemudian masuk ke ruangan bidan (midwive) untuk pengambilan data yang lebih lengkap lagi termasuk seputar alergi makanan, riwayat kehamilan pertama, dan gejala-gejala kehamilan saat ini. Ada pengambilan darah juga hari itu sebanyak lima tabung T.T
Hingga hari ini, si bayi udah dicek sekali lagi lewat transvaginal ultrasound dua minggu setelahnya di usia yang menurut perhitungan adalah 10 minggu tapi ternyata jadi 11 minggu sehingga HPL (Hari Perkiraan Lahir) pun sudah tiga kali berubah. Setelah itu, di trimester kedua ini, pemeriksaan memasuki masa 4 minggu sekali. Nanti di trimester ketiga, kontrol akan kembali ke siklus 2 minggu sekali.
Begitulah kurang lebih gambaran kehamilan di Jepang versi saya. Semoga nanti bisa ditambah lagi tulisannya 🙂 Mohon doanya, yaa, agar calon adiknya Musa ini bisa tumbuh sehat terus di dalam sana dan selamat lahir ke dunia dalam kondisi sehat fisik dan mentalnya juga. Mamanya juga jangan lupa didoain.. hehe.
One thought on “Heartbeat Detected”